JAKARTA – Pelaksanaan otonomi pendidikan masih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan.
Hal ini diungkapkan Direktur Direktorat Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji di Jakarta, Kamis (25/6/2020).
Padahal dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, memberi kewenangan kepada daerah untuk mengelola otonomi daerahnya.
“Berbagai hambatan yang muncul disebabkan perbedaan tingkat komitmen daerah dalam pengembangan pendidikan, lemahnya profesionalisme daerah dalam mengelola pendidik dan tenaga kependidikan," kata Indra yang juga pengamat pendidikan.
Selain itu, tutur Indra, adanya perbedaan interpretasi antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta insinkronisasi pengelolaan komponen pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama dengan komponen pendidikan di bawah pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Indra menjelaskan, dalam segi mutu, pendidikan kita masih jauh dari konsep bangsa yang cerdas. Melihat hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment).
"PISA mengukur kemampuan anak berusia 15 tahun untuk kemampuan literasi (membaca), numerasi (matematika), dan sains. Pada 20 tahun terakhir kemampuan anak-anak Indonesia pada tiga bidang tersebut sangat rendah dan jauh dibawah rata-rata negara OECD," tegas Indra kepada Pos Kota.
Ia menambahkan Bank Dunia menyatakan bahwa anak-anak Indonesia berada pada kondisi functionally illiterate, atau buta aksara secara fungsi, artinya mampu membaca tetapi tidak memahami apa yang dibaca.
“Kajian PISA tersebut ternyata dikonfirmasi oleh survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri tahun 2019 yang disebut AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia). Survei ini akan menjadi model dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang akan diberlakukan secara nasional pada tahun 2021,” ujar Indra.
Kemudian, Indra menyebut, data di Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang disusun oleh Kemendikbud menunjukkan masih banyak pemerintah daerah yang menganggarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jauh dibawah 20% untuk bidang pendidikan seperti yang diamanatkan konstitusi.
"Tetapi dengan pola berhitung yang berbeda, masyarakat mendapatkan informasi kalau anggaran pendidikan justru jauh diatas 20%. Informasi yang belum sinkron seperti ini yang sepertinya harus segera diluruskan," kata Indra.
Menurutnya, dengan revisi Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), maka diskusi sistem pendidikan nasional dari sudut pandang pemerintah daerah dianggap perlu untuk memperkaya pembahasan revisi undang-undang tersebut agar terjadi perbaikan yang signifikan demi tercapainya SDM Unggul – Indonesia Maju,” ungkapnya. (johara/tri)