Mari Kian Beradab

Kamis 25 Jun 2020, 07:00 WIB

Oleh Harmoko

PERADABAN adalah kemajuan. Semakin beradab seseorang, mengindikasikan adanya kemajuan.Tentu, dalam hal ini adalah tingkat kecerdasan lahir batin, kemajuan budayanya dan budi pekertinya.

Tak berlebihan sekiranya dikatakan lingkungan yang beradab akan menciptakan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan. Sebab, dikatakan beradab jika seseorang memiliki sopan santun, kehalusan dan kebaikan budi pekerti.

Terdapat kelembutan dan kehalusan dalam bertutur kata, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari – hari. Di mana pun, kapan pun dan kepada siapa pun.

Ini sejalan dengan makna dari penjabaran butir – butir sila kedua falsafah bangsa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab.

Itulah sebabnya, negara yang semakin beradab, bukan saja karena kemajuan teknologinya, ekonominya, kemakmurannya,  dan juga kemajuan budaya serta perilaku masyarakatnya.

Perilaku yang semakin menunjukkan adanya saling menghargai antar-sesama, semakin mengakui persamaan hak, martabat dan derajat pada masing – masing individu.

Menghargai berarti tidak saling mengganggu, tidak menghalang – halangi, dan tidak memaksakan, apalagi jika sampai melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Itulah sejatinya “manusia beradab” yang dikehendaki para pendiri bangsa sebagaimana tercermin dalam sila kedua dasar negara kita. Kalau saja ajaran ini kita terapkan secara sungguh – sungguh oleh setiap warga negara, maka negeri kita makin mampu menghadapi segala tantangan masa depan, kian kokoh membangun persatuan dan kedamaian. Tak ada lagi muncul kelompok - kelompok yang saling bertikai, berebut pengaruh dan kekuasaan.

Kita sadar, lebih – lebih para pendiri negeri, atas keanekaragaman bangsa Indonesia. Tak saja adat dan budaya, juga bahasa, suku, ras dan agamanya. Keanekaragaman, di satu titik menjadi tali penguat persatuan , di sisi lainnya bisa menjadi embrio perpecahan.

Kesadaran akan kenyataan inilah, maka jauh hari sebelum negeri ini didirikan, para leluluhur kita telah merintis kebersamaan, persatuan dan kesatuan, yang kemudian dilegalkan dalam lambang dan dasar negara kita.

Dalam era sekarang perilaku “beradab” semakin dibutuhkan. Di tengah pandemi Covid -19 yang berdampak kepada kian sulitnya perekonomian, kian banyak pengangguran akibat sejumlah perusahaan tidak mampu berproduksi lagi.

Dalam situasi semacam ini sensitivitas masyarakat meningkat dalam merespons situasi, mudah terprovokasi, dan boleh jadi saling curiga akibat trauma.

Mencegah, setidaknya mengurang tensi sensitivitas masyarakat, diperlukan sikap dan perilaku yang lemah lembut, kehalusan bahasa dan budi pekerti.

Buya Hamka berpesan “Kata- kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati dan manusia yang keras.”

Makna yang dapat diserap adalah sekeras apa pun hati dan sikap manusia akan menjadi lentur, jika kita mampu menghadapinya dengan kelembutan hati, sopan santun dan penuh dengan kesabaran yang tinggi.

Ini tak ubahnya sebuah istilah bahwa batu tak bisa diadu dengan batu. Jika keduanya diadu akan pecah berkeping. Tetapi batu akan hanyut ke dalam air tanpa percikan.

Itulah sebabnya kita dianjurkan agar menyingkir dari kekerasan, tidak meladeni aksi kekerasan dengan kekerasan. Agama apa pun juga mengajarkan agar kita senantiasa menghindar dari aksi kekerasan. Lebih–lebih melakukan aksi  kekerasan.

Mari kita ciptakan ketenangan dan kedamaian untuk mendukung situasi negeri yang kian kondusif secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan, melalui perilaku yang lebih beradab.

Mari kita hidup beradab, bukan hidup untuk biadab. Para filsuf  berpesan, manusia hebat adalah manusia beradab.

Dengan “beradab” sejatinya kita menularkan keteladanan dalam pengamalan nilai – nilai budaya bangsa. (*)

News Update