Kejujuran & Ketegasan Hugeng Tak Dihargai di Masa Orde Baru

Senin 22 Jun 2020, 08:39 WIB

GUBERNUR Jateng Ganjar Pranowo mengusulkan, mantan Kapolri Hugeng Imam Santosa menjadi Pahlawan Nasional. Beliau layak menerimanya. Dialah pejabat pejuang kejujuran dan ketegasan tanpa cacat, tapi tak dihargai oleh penguasa Orde Baru.

Untuk awet menjadi pejabat, orang Jawa punya resep: harus bisa ngewula ratu (baca: melayani pimpinan). Apa maunya atasan, meski bertentangan dengan hati nurani, dipatuhi saja. Jika atasan itu seorang presiden, maka menteri model demikian akan dipakai terus.

Di masa Orde Baru, hal itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi Kapolri Jendral Hugeng Imam Santosa (1968-1971), tidak mau dan tidak bisa jadi pejabat yang membebek, yang apa kata Pak Harto dijawab, “Nun inggih kawula noknon (baca: siap).” Jendral Hugeng siap berseberangan dengan Presiden, apapun risikonya.

Awal-awalnya jadi Kapolri, Pak Harto sudah minta agar polisi tidak perlu ikut angkat senjata sebagaimana TNI. Jawab Hugeng pendek saja, “Oke, tapi tolong tentara jangan juga mencampuri tugas kepolisian.” Ternyata Pak Harto terdiam, tak bisa menjawab.

Sekitar tahun 1968 ramai soal penyelundupan mobil mewah oleh anak muda Roby Cahyadi. Ternyata dia memang “bermain” dengan para pejabat kepolisian dan Bea Cukai. Dan Kapolri tak peduli siapa becking-nya, bakal disikat. Tapi apa lacur? Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan ditulis, ketika Hugeng ke Cendana, justru Roby Cahyadi lebih dulu ada di dalam bersama Pak Harto.

Tak lama kemudian muncul berita menggegerkan dari Yogyakata, Sumariyem alias Sum Kuning penjual telur diperkosa sejumlah pemuda anak pejabat DIY termasuk putra Pahlawan Revolusi. Polisi malah menutupi dan merekayasa kasus. Kapolri Hugeng turun tangan, tapi malah dicopot dan kasusnya ditangani Kopkamtib.

Jendral Hugeng pun bertanya pada Pak Harto, kenapa dicopot. Jawab Pak Harto, “Tak ada tempat buatmu. Kalau mau jadi Dubes di Swedia apa Belgia.” Hugeng menolak, dan mending keluar dari Kepolisian. Uang pensiunannya tak pernah naik, hanya Rp10.000,- hingga tahun 2001.

Untuk mengisi kesibukan main musik “Hawaian Senior” di TVRI. Tapi gara-gara ikut teken “Petisi 50” di tahun 1980, acara itu dihapus, Dan Hugeng terus digencet, sampai-sampai menghadiri HUT Bayangkara 1 Juli saja tidak diperbolehkan.

Begitulah nasib orang yang jujur dan tegas pada prinsip, tapi di masa Orde Baru malah tak dihargai. Maka Gus Dur pun pernah bilang, di Indonesia polisi jujur hanya dua, yakni: Hugeng Imam Santosa dan polisi tidur. (gunarso ts)

News Update