SATU kota di negara Antahbarantah dikuasi oleh penjahat. Nggak main-main ini para penjahat leluasa melakukan kejahatan di kota tersebut. Dar der dor, senjata mereka selalu bicara ketika ada orang yang berani melawan.
Perampokan,pembunuhan, perkosaan dan narkoba nggak ada henti-hentinya mewarnai keadaan kota. Pokoknya, petugas yang berwenang nggak berkutik. Ada apa gerangan?
Oh, ternyata semua pejabat yang berkuasa di kota itu, gubernur, walikota, kepala polisi dan perangkat hukum lain,suma terbuai oleh uang sogokan. Mereka tiap hari foya-foya, makan minum miras, nggak peduli rakyat menderita.
Itu tadi cerita film. Walau kemudian ada seorang yang berani menghentikan kelakuan mafia tersebut. Para petugas dibuka kedoknya, bahwa mereka terlibat dalam semua kejahatan yang dilakukan para mafia. Pantesan, mereka leluasa melakukan kejahatannya.
Begtulah, jika pejabat, penguasa, di dalamnya ada polisi jaksa hakim yang ikutan makan hasil kejahatan, rayat menderia. Kebenaran kalah dengan kejahatan. Gawat, negara rusak.
Bisa jadi ini mirif dengan kasus di Sumatera, dua oknum polisi ikutan menadah dan menyalurkan hasil curian. Mereka menadah dari para bencoleng dan menjualnya pada penadah. Pantes saja pencurian mobil merajalela, wong oknum polisi ikutan?
Ah, Pak Polisi, sayang banget ya. Jadi polisi kan susah kok dibuat kejahatan? Ingat, tugas polisi itu memberantas kejahatan, bukan malah berteman. Apalagi ikutan minta bagian hasil rampokan? (massoes)