China Dihantam Corona Gelombang II, Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Diprediksi Melemah

Jumat 19 Jun 2020, 14:44 WIB
Enny Sri Hartati adalah Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Enny Sri Hartati adalah Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diprediksi bakal melemah dalam dua pekan ke depan. Menyusul gelombang kedua pandemi wabah Corona yang kembali menghantam Beijing, China.

Pada Jumat (19/6) nilai rupiah melemah terhadap dolar AS dengan nilai 1 Dollar AS setara dengan Rp14.050. Sedangkan sehari sebelumnya, atau pada Kamis sore (18/6/2020) rupiah sempat berada di bawah Rp14.000, per dolar AS, setelah Bank Indonesia menurunkan suku bunga.

Dr Enny Sri Hartati adalah Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, kalau China masuk gelombang II Covid-19, maka bukan saja akan mempengaruhi ekonomi Indonesia tapi juga banyak negara.

"Saya tidak pasti apakah China akan masuk gelombang II dalam kasus Covid-19 karena saya bukan ahlinya. Namun kabar yang beredar memang seperti itu, China akan masuk gelombang II dalam kasus Covid-19," kata Enny yang dihubungi di Jakarta, Jumat (19/6).

Ia menilai nilai tukar rupiah dalam situasi sekarang ini tidak hanya dapat ancaman dari luar, tapi dalam negeri sendiri nilai rupiah bisa terus melemah, karena belum ada kepastian kapan selesai Covid-19 ini, apalagi jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat dengan penambahan di atas 1.000 orang.

Di sisi lain, menurut mantan dosen Universitas Trisakti ini,  neraca perdagangan Indonesia masih minus, impor kita lebih besar dari ekspor kita, kondisi seperti ini masih sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Enny menegaskan ketidakpastian dalam negeri tersebut sehingga banyak di antara mereka yang lebih memegang aset dengan membeli dolar AS, karena dolar AS itu dalam kondisi sekarang ini sangat kuat terhadap berbagai mata uang dari negara lain, termasuk rupiah sekali pun.

"Mereka tidak memilih investasi di Indonesia karena belum adanya kepastian akibat penanganan Covid-19 yang belum selesai, dan mereka lebih memilih untuk membeli aset dalam bentuk  dolar AS," Enny menandaskan.(johara/ruh)

 

News Update