SALAT Jumat dengan protokol kesehatan menjadikan kapasitas mesjd untuk jemaah berkurang banyak. Tapi solusi pakai sistem ganjil genap merujuk ke nomer HP, sungguh aneh. Jika jemaah tak bawa HP bagaimana solusinya? Adakah gelombang ke-3?
Sejak dibuka wacana “new normal”, mesjid-mesjid di Jakarta mulai menggelar salat Jumat, tentu saja tak lepas dari protokol kesehatan yang ketat. Dengan tanda silang di sana sini, resikonya kapasitas mesjid menjadi sempit. Kemudian jemaah meluber ke halaman mesjid, bahkan jalan depan mesjid.
Maka Ketua DMI (Dewan Mesjid Indonesia) Jusuf Kala memberikan solusi yang terkesan diilhami atau membebek kebijakan Pemprov DKI. Jika pasar-pasar diharuskan buka secara ganjil genap merujuk ke nomer kios, maka DMI mewacanakan ganjil genap para jemaah dengan merujuk nomer HP.
Bahwa salat Jumat digelar dua gelombang, yakni jam 12.00 dan 13.00 masih okelah. Tapi jika kemudian jemaah ber-HP nomer genap diikutkan gelombang pertama, lalu jemaah ber-HP nomer ganjil pada gelombang kedua, bagaimana dengan jemaah yang tak bawa atau tak punya HP. Apakah akan digelar salat Jumat ketiiga?
Solusi DMI ko kesannya kok jadi ribet banget. Bagaimana tidak ribet? Apakah pengurus mesjid harus memeriksa nomer HP jemaah satu persatu? Jika Jumatan gelombang 1 untuk nomer genap, maka pemilik HP nomer ganjil harus keluar mesjid dulu, atau sebaliknya. Itu kan sama saja jemaah akan dengar khotbah 4 kali, meski salat Jumatnya tetap hanya sekali.
Lagi pula, siapkah stok khatibnya? Kan tidak mungkin seorang khatib khotbah Jumat sampai 4 kali, karena salatnya dua gelombang. Maka solusi daruratnya paling-paling, jika mesjid masih punya halaman, mendingan jemaah meluber ke halaman.
Kepanasan sedikit nggak papa, paling-paling kulit tambah item. (gunarso ts)