Jaga Jarak di Arena Publik Cuma Mudah Diomongkan

Senin 15 Jun 2020, 06:50 WIB

MEMASUKI “new normal” atau “PSBB transisi” untuk istilah DKI Jakarta, protokol kesehatan “jaga jarak” (physical distancing), merupakan harga mati. Ternyata itu hanya mudah diomongkan, karena faktanya terus terjadi pelanggaran di sana sini.

Kapan hari H pelaksanaan “new normal” tak pernah jelas, karena belum pernah diumumkan oleh pemerintah. Begitu juga untuk di DKI Jakarta yang namanya diganti menjadi “PSBB transisi”. Tapi di lapangan sudah terasa kelonggaran di sana-sini, paling tidak sudah 2 kali mesjid-mesjid DKI Jakarta menggelar salat Jumat.

Hari ini akan semakin terasa “new normal” dan “PSBB transisi” itu. Pasar tradisional, 80 mal, akan dibuka kembali meski pengunjung dibatasi 50 persen. Caranya untuk di pasar-pasar dilakukan ganjil genap, maksudnya: kios yang menyesuaikan dengan tanggal. Misalnya kios No. 20, hanya boleh buka di tanggal-tanggal genap. Sebalikya kios No. 25, hanya boleh buk di tanggal ganjil saja.

Tapi asal tahu saja, yang namanya pasar tradisional itu tak semua pedagang punya kios. Di luar pasar, banyak yang buka lapak tanpa ruang beroling door. Paling-paling hanya tenda saja. Lalu bagaimana mengaturnya, apakah tenda-tenda ini punya nomer juga?

Baik pembukaan mesjid, kios pasar tradisional maupun mal-mal, semua tetap terkena aturan harga mati, yakni menjaga jarak antar pengunjung, pakai masker. Memakai masker lebih mudah, karena bisa dipakai sejak dari rumah. Itupun tak selalu ditaati, meski pelanggar konon kena denda Rp 250.000,-

Paling susah untuk menjaga jarak di ruang publik. Pengunjung datang dari berbagai arah, dalam jumlah masal seperti itu, bagaimana mengaturnya? Taruhlah A konsisten menjaga jarak, tapi pengunjung B belum tentu mau mengerti. Sudah tanpa mengenakan masker, lewat ya nyelonong saja sambil berdesakan. Padahal siapa tahu di tubuh atau bajunya belepotan Covid-19.

Paling nyata adalah di mesjid-mesjid. Meski saf diatur: kosong isi ke samping dan ke belakang, ada saja yang melanggarnya dengan sadar. Sudah tidak pakai masker, begitu ada ruang kosong langsung menggelar sajadah. Baginya, kondisi ini direken seperti Jumatan normal-normal saja tak ada Covid-19.

 Yang kasihan adalah jemaah yang konsisten dengan protokol kesehatan itu. Dia sengaja salat di luar (emperan mesjid) saja, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Benar saja; baru khusyuk mendengarkan khotbah, eh ruang kosong sebelahnya tahu-tahu diisi orang. Dia segera pindah tempat ke kanan untuk jaga jarak.

Baru saja duduk di sajadah bawaan sendiri, eh ruang kosong itu tahu-tahu diisi orang lagi. Terpaksa dia pindah lagi. Begitu terus menerus sampai kemudian “terpental” di halaman mesjid sehingga dimakan teriknya matahari. (gunarso ts)

News Update