MENKO PMK Muhadjir mengingatkan, Kota jangan subordinasi pada Provinsi. Sebetulnya ini penyakit Kepala Daerah sejak Pilkada langsung. Walikota-Bupati tak takut pada gubernur, gubernur tak takut pada menteri. Yang ditakuti Kepala Daerah cuma DPRD.
Sejak ada UU Pilkada dan Otonomi Daerah, jabatan Kepala Daerah dikuasai oleh politisi partai. Pejabat birokrat yang dengan tekun merintis karier, justru tersingkir.
Mentok-mentoknya paling Kepala Dinas atau Sekda. Padahal Sekda kalau mau aman, harus berani bermuka dua. Kepada Kepala Daerah lama bilang A, tapi pada Kepala Daerah penggantinya harus bilang B.
Sedangkan, politisi yang modal loyal pada Ketum, bisa dipromosikan partai untuk jadi Kepala Daerah. Modalnya bukan pengalaman kerja birokrasi, tapi popularitas dan uang kertas.
Ada memang Kepala Daerah van politisi yang berprestasi, mendobrak kemapanan. Tapi tak banyak. Yang banyak justru Kepala Daerah korupsi dan diudak-udak KPK.
Agar Kepala Daerah tidak terjebak korupsi, Presiden mengingatkan pada gubernur, gubernur mengingatkan pada bupati-walikota. Tapi banyak kepala daerah yang tak menggubris teguran pejabat di atasnya.
Mereka tidak takut, sebab mentri, gubernur tak bisa mencopot Bupati-Walikota yang semau gue. Yang ditakuti Kepala Daerah malah hanya DPRD. Maka banyak DPRD yang “memeras” Kepala Daerah, meski resikonya rame-rame masuk penjara.
Kemarin Menko PMK Muhadjir Effendi mengingatkan, Kota (Walikota) tidak boleh subordinasi kepada provinsi (Gubernur). Ini berangkat dari “konflik” antara Walikota Surabaya Tri Rismaharini dengan Gubernur Jatim Khofifah. Masalahnya, karena sama-sama punya tanggung jawab yang besar soal penanggulangan Covid-19.
Selama UU Pilkada dan UU Otonomi Daerah tak dikoreksi, Kepala Daerah akan terus berani ngeyel atau melawan pejabat di atasnya lagi. Pengeyelan Kepala Daerah ini sempat bikin pusing Mendagri –yang waktu itu– Cahyo Kumolo (2014-2019), karena investor jadi susah masuk. Masalahnya, banyak Perda yang berlawanan dengan pemerintah pusat.
Mendagri pernah membatalkan ratusan Perda yang hambat invetasi, tapi digugat ke MK dan Kepala Daerah yang dimenangkan. Artinya Mendagri tak bisa membatalkan Perda Kepala Daerah. Akhirnya pemerintah pun melawannya lewat omnibus law, meski terjadi pro dan kontra. (gunarso ts)