ADVERTISEMENT

Jadi Suami Panji Klantung Setiap Hari Masuk Sarung

Minggu, 7 Juni 2020 07:30 WIB

Share
Jadi Suami Panji Klantung Setiap Hari Masuk Sarung

MENYESAL  sungguh  Listyani (25) menikah dengan Parjiman (29). Tiga tahun berumah tangga, pekerjaannya tidak jelas, alias jadi panji klantung.

Tapi soal kasih nafkah batin ke istri, hobi banget, tiap hari ngajak masuk sarung. Padahal Listyani pekerja kantoran, sering lembur untuk menambah penghasilan.

Perkawinan dini sering hanya mempertimbangkan bentuk lahir, asal ganteng dan cantik saja. Padahal jika sudah jadi suami istri, kegantengan dan kecantikan itu menjadi biasa saja.

Kelangsungan rumah tangga ditentukan oleh jaminan ekonomi sehari-hari, karena cinta tak bisa dinikmati dengan perut kosong. Logikanya, tanpa cinta orang tetap bisa hidup, tapi tanpa makan orang bisa kaliren (kelaparan) dan akhirnya wasalam.

Listyani warga Surabaya, saat pacaran dengan Parjiman yang dilihatnya memang hanya ketampanannya, dia banyak digandrungi cewek-cewek. Tapi ternyata cinta Parjiman justru pada Listyani.

Maka bagi Listyani, itu sungguh keberuntungan luar biasa. Takut sidoi direbut cewek lain, meski Parjiman belum punya pekerjaan, mau saja diajak balik nama ke KUA.

Pertimbangan Listyani kala itu, nanti jika sudah ada anak kan nalare mulur (otaknya berkembang). Jadi sekarang masih jadi panji klantung nggak papa, kan Listyani sendiri sudah kerja jadi PNS. Maka Listyani pun merujuk pada pepatah lama, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Tapi ternyata, sudah jalan 3 tahun duet Listyani-Parjiman, suami tetap hanya petentang-petenteng tidak jelas. Cari pekerjaan males, tiap hari kelayapan bersama teman-temannya yang nggak jelas juga.

 Apa mereka demit? Bukan! Maksudnya, Parjiman Dkk itu adalah para lelaki yang tidak punya pekerjaan, hobinya hanya kongkow-kongkow. Bedanya, Parjiman sudah punya istri, teman-temannya belum.

Yang bikin Listyani jengkel dan capek, Parjiman soal jimak (hubungan intim) doyan banget. Istri yang pulang kerja sampai malam, tiba di rumah dikerjain lagi. Listyani mau nolak, namanya kewajiban. Tapi jika dilayani terus, kodok kalung kupat, awak boyok sing gak kuwat (badan yang tidak sanggup).

Listyani sudah mendorong terus suaminya untuk mencari kerja, tapi tak pernah dapat, sehingga akhirnya putus asa. Karena istrinya sudah bekerja, dia jadi semakin ketergantungan pada istri. Tak kerja pun tetap makan, karena bini punya penghasilan. Walhasil fungsi Parjiman dalam rumahtangga sekedar jadi pemacek (pejantan) belaka.

Paling nyakitin, ketika Listyani sering pulang malam, mertua justru menuduh bini Parjiman ini main serong. Ini benar-benar mata mlorok ora ndedelok (tak mau melihat fakta sebenarnya). Tega-teganya menuduh mantu selingkuh, pulang kerja sampai malam kan karena lembur, sementara kerja Parjiman bisnya hanya lempengin burung melulu.

Capek sudah Listyani. Suami tak bisa cari makan, mertua hanya maido dan nyinyir melulu kayak kaum oposisi. Maka mumpung belum ada anak, dia ingin bercerai saja. Ternyata orang tuanya juga mendukung. Maka beberapa hari lalu Listyani mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Agama Surabaya. “Capek Pak, suami hanya bisa kasih bonggol, bukannya benggol.” Katanya pada petugas di Pengadilan Agama.

Tapi itu kan intinya inti Mbak. (jpnn/gunarso ts)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT