Tidak Mau Menjadi Politisi Karena Terpaksa Korupsi?

Senin 01 Jun 2020, 06:25 WIB

POLITISI dan korupsi itu di era gombalisasi bagaikan mur dan baut, tak bisa dipisahkan. Soalnya banyak politisi terjebak korupsi. Maka Deddy Corbuzier pernah bilang, tak mau jadi politisi. Dia beralasan, “Kalau jadi politisi saya harus korupsi.”

Host “Hitam Putih” itu terpaksa mengatakan begitu dalam podcastnya, karena melihat fenomena di lapangan, bahwa kalangan politisi serba salah. Kalau korupsi salah, tapi kalau nggak korupsi ditekan. Siapa yang nekan, tentunya ya politisi “zona hijau”, maksudnya matanya cepat ijo asal lihat duit.

Ini mengingatkan kisah Setya Novanto saat memainkan proyek e-KTP di DPR senilai Rp5,9 triliun itu. Ahok BTP yang waktu itu anggota DPR dari Komisi II, ketika nada-nadanya proyek e-KTP hendak dibuat bancakan, dia bersuara lantang melawan arus.

Tapi oleh sesama anggota Fraksi Golkar, dia ditegur agar jangan bersuara terlalu keras. Kenyataannya kemudian? Setya Novanto masuk penjara ketika jadi Ketua DPR, dan sejumlah oknum DPR yang termakan duit e-KTP ikut menemani di LP.

Itu baru tingkat DPR pusat. Yang kelas DPR cukup banyak keterpaksaan korupsi itu terjadi ketika Pemda hendak menggulirkan program-program kerjanya. Kepala Daerah harus kompromi dulu dengan DPRD. Nah, di sini DPRD suka “jual mahal” anggaran diloloskan termasuk APBD misalnya, asalkan ada “pengertian” berupa segepok uang. Nah, Kepala Daerah karena takut programnya terganjal mau saja menservis, meski kadang ini jadi aksi bunuh diri.

Banyak Kepala Daerah masuk penjara gara-gara “kerja sama” dengan DPRD. Tapi juga banyak Pemda yang anggota DPRD-nya masuk penjara berjemaah gara-gara “memeras” Kepala Daerah, baik itu gubernur, walikota maupun bupati. Maka catatan KPK menyebutkan, dari tahun 2004 hingga sekarang hingga kini tercatat 124 Kepala
Daerah dipenjara karena korupsi. Untuk DPRD dan DPR lebih banyak lagi, hingga kini jumlahnya sudah lebih dari 210 orang.

Maka benar kata Deddy Corbuzier, banyak politisi korupsi karena terpaksa, ikut arus. Tapi di era gombalisasi ini, yakni setelah era reformasi, dengan begitu banyaknya parpol, potensi politisi untuk menyalahgunakan uang negara semakin besar. Tinggal kuat-kuatan saja antara iman dan nafsu.

Jika politik itu ibaratnya fakultas di perguruan tinggi, setidaknya ada dua jurusan di sana. Yakni, jurusan Kepala Daerah dan jurusan Wakil Rakyat. Dua-duanya punya peluang untuk jadi koruptor. Jika tidak kuat derajat, belum sampai 5 tahun sudah di-DO dengan diploma kamar penjara di LP Sukamiskin Bandung atau LP Cipinang, Jakarta.
Sebelum masuk ke sana “diwisuda” dulu di KPK dengan kostum rompi warna oranye. (gunarso ts)

News Update