JAKARTA-Pandemi COVID-19 diindikasikan dapat berimplikasi luas terhadap pencapaian dan pemanfaatan bonus demografi. Usaha pencapaian dan pemanfaatan bonus demografi yang mengandalkan kelompok usia produktif bisa saja terbentur pada kenyataan meningkatnya jumlah pengangguran, baik dari dalam maupun luar negeri. Apakah dampak pandemi ini benar-benar mempengaruhi keberhasilan Indonesia dalam meraih memanfaatkan bonus demografi baik dari segi kuantitas maupun kualitas?
“Kita tahu Indonesia sudah diprediksi bisa memasuki angka sampai 46 (dependency ratio). Artinya setiap 100 penduduk yang usia produktif hanya menanggung 46 (penduduk) yang tidak produktif. Ini yang luar biasa oleh karena itu syarat untuk bisa memetik Bonus Demografi itu dari segi kuantitas itu kita memasuki dan tentu ini tidak akan mudah diganggu gugat karena syarat kuantitas ini ditempuh dengan sangat panjang sehingga pengaruh COVID-19 ini tidak akan merubah dengan serta merta ini secara totalitas. Kuantitas itu tidak akan berpengaruh secara signifikan,” kata Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) pada Webinar “Tantangan Kependudukan di Tengah Pandemi COVID-19: Pekerja Migran Indonesia Pulang Kampung” melalui virtual meeting.
Namun Hasto mengatakan, bahwa untuk memetik Bonus Demografi harus memenuhi dua syarat yaitu tidak hanya dari segi kuantitas namun juga kualitas. Menurutnya dari segi kuantitas untuk memetik Bonus Demografi memang tidak perlu dikhawatirkan karena melalui proses yang sangat panjang dari hasil penurunan angka fertilitas dari tahun 1970 sebesar 5,6 menjadi 2,4 hingga kini.
Yang perlu dikhawatirkan adalah segi kualitas SDM penduduk Indonesia itu sendiri, apalagi di masa Pandemi COVID-19 ini yang diproyeksikan dapat menyebabkan peningkatan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). KTD tersebut bisa menimbulkan berbagai permasalahan seperti stunting, angka kematian ibu dan bayi, serta permasalahan lainnya di masa yang akan mendatang. Sehingga bisa mengganggu kualitas SDM penduduk Indonesia untuk memetik Bonus Demografi tersebut.
Selain itu, ketika isu pulangnya para pekerja migran Indonesia (PMI) merebak juga menambah kepanikan masyarakat di tengah pandemi. Konsep “virus tidak bergerak, tetapi manusia yang memindahkan virus” memperlihatkan mobilitas penduduk sebagai faktor kunci tersebarnya COVID-19. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat terdapat 100.094 pekerja migran Indonesia yang berasal dari 83 negara pulang ke tanah air dalam tiga bulan terakhir. BP2MI juga memprediksi, 37.075 PMI akan kembali ke tanah air pada bulan April-Mei 2020. Apabila mengacu pada provinsi asal PMI, kepulangan PMI tersebut akan mengarah ke enam provinsi utama daerah asal PMI, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Sumatera Utara.
“Ada 63,4 juta penduduk yang relatif muda (usianya). tetapi ingat syarat secara kualitatif mereka ini harus sehat secara reproduktif. Kemudian mereka penididkannya harus cukup juga punya ketrampilan yang baik. Kemudian mereka juga harus mempunyai pekerjaan yang bagus. Oleh karena itu baru ada harapan untuk memetik Bonus Demografi. Jadi kalau dari pekerja migran kalau jumlahnya skitar 260 ribu dan mayoritas pendidikannya di bawah SMP dan mayoritas perempuan, mungkin kalau dia kembali ke Indonesia kemudian mewarnai akan untuk memetik Bonus Demografi maka akan menjadi pemberat bukan menjadi daya ungkit,” tambah Hasto.
Pandemi COVID-19 menempatkan banyak negara ke dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Selain karena jumlah korban yang masih terus menanjak grafiknya, ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, dampak yang ditimbulkan oleh pandemi menyerang berbagai aspek kehidupan. Hal yang paling nyata dari imbas pandemi adalah ratusan juta orang di dunia berisiko jatuh ke garis kemiskinan seiring dengan anjloknya perekonomian. (*/fs)