BOLEH saja ada larangan keluar rumah ketika lebaran, nggak apa-apa. Lebaran di rumah saja, PSBB. Bagi yang berduit, seperti orang-orang kaya yang setiap hari pada pamer kekayaannya, nggak peduli mau lagu apa, duitnya nggak berseri.
Lha, tapi buat yang nggak punya apa-apa, miskin? Bagaimana ceritanya? Kalau soal mudik bisa ditahan, karena pada zaman normal saja, ada yang nggak pulang kampung. Tapi soal perut? Masa lebaran perut keroncongan? Apa, nunggu bantuan sosial alias bansos?
Boleh juga sih. Tapi, buat warga yang gengsi, nggak maulah ngantre berdesak-desak, apalagi sampai berkelahi sama panitia? Ogah ah, Malu sama dunia!
Nah, masalah lebaran, susah atau sesulit apapun, bagi warga di rumahnya harus ada ketupat. Jika tanpa kehadiran ketupat, nggak afdol. Lebaran, ya ketupat! Begitulah kata sebagian masyarakat Indonesia.
Kehadiran ketupat pun boleh berbeda beda lauk pauknya. Katakan bagi orang Betawi, ketupat itu ya sayur samble godok, semur daging kerbau. Ketupat bagi masyarakat Jawa, opor ayam yang menemani salain sayur santan, gulai dan sambal kentang? Begitu juga masyarakat di wilayah lain punya lauk pauk tersendiri.
Sedikit sejarah ketupat. Konon makanan berbahan beras, berbentuk segi empat ini lahir dari ide cemerlang Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali songo yang penuh makna dan nasihat.
Ketupat yang artinya ngaku lepat, bahwa manusia tak lepas dari kesalahan, maka tak ada salahnya jika mengaku salah. Dan saling memaafkan, bahwa diri manusia itu bagai anyaman ketupat yang berbelit, ruwet tapi rapi saling kait. Bahwa ketupat berisi beras, jika dipotong berwarna putih itu pun pertanda putihnya hati manusia. Tentu saja bagi mereka yang menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Hatinya putih bersih.
Ketupat yang bersayur santen, juga nggak lepas dari makna; santen nyuwun ngapunten alias minta maaf pada sesama.
Ketupat sayur santen; lepat nyuwun ngapunten. Jika salah minta maaf lahir bathin. (massoes)