Melihat Omnibus Law Dari Sudut Pandang Akademisi

Jumat 27 Mar 2020, 11:00 WIB
Dekan Fakultas Hukum Universita Pakuan Raden Muhammad Mirahdi

Dekan Fakultas Hukum Universita Pakuan Raden Muhammad Mirahdi

JAKARTA -  Presiden Joko Widodo memprediksi hukum telah membuat investasi tidak menarik, regulasi bertumpuk, birokrasi berbelit dan waktu mengurus perizinan mengular. 

Obesitas regulasi juga menimbulkan dampak serius. Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta. Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara. 

Dalam laporan tahun 2019, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96. 

Karena itu Omnibus Law hadir menjadi terobosan untuk menjawab dua hal sekaligus, yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum.

Dekan Fakultas Hukum Universita Pakuan Raden Muhammad Mirahdi mengatakan, RUU Omnibus Law sebenarnya mengambil konsep hukum di negara-negara _common law_, dimana Indonesia menganut sistem _civil law_, sehingga wajar jika masyarakat Indonesia agak kurang akrab dengan omnibus law walaupun memang Indonesia sudah memiliki UU yang serupa. 

Pada prinsipnya, omnibus law adalah satu undang-undang yang mengatur beberapa kepentingan luas yang serupa.

"Dari segi hukum, UU model omnibus law adalah barang baru bagi Indonesia. Hal ini harus diterima masyarakat sebagai bentuk terobosan hukum untuk menjadikan masa depan Indonesia semakin maju," ujarnya.

Ia memberi catatan, pertama ada semangat yang baik dan bagus dalam mengefisiensi keluhan investor untuk menanamkan investasi di Indonesia. 

"Semangat Presiden Joko Widodo membuat terobosan omnibus law sayangnya tidak linear saat dimasukkan dengan teknis omnibus law. Salah satu diantaranya, terlalu banyak materi dalam omnibus law yang disinggung, seperti UU tentang pers, UU tentang kesehatan, dan lainnya, yang sebenarnya tidak langsung berkenaan dengan investasi," ujarnya.

Kedua, ada terobosan yang menjadi masalah, dimana PP bisa menggeser UU. Secara umum, lanjutnya, hukum di Indonesia tidak memberikan peluang dimana PP bisa mengganti atau menggeser UU. 

Ketiga, Presiden Joko Widodo sepertinya gelisah, karena ketika Pilkada berlangsung serentak, menjadikan hubungan antara pusat dan daerah seperti terputus. Disatu sisi, Kepala Daerah merasa sebagai sosok independen dari pemerintah pusat karena telah dipilih oleh rakyat di daerahnya. 

News Update