Oleh Harmoko
ADA pepatah "Diam adalah emas".
Itu jika diam dilakukan untuk mendengarkan orang lain sedang berbicara tentang kebaikan.
Diam akan lebih baik, ketimbang membicarakan keburukan orang lain, lebih - lebih mengumbar aib orang lain.
Bahkan, "diam" bisa diartikan "berlian", jika sedang menahan amarah, diam untuk menyembunyikan keikhlasan.
Apakah diam itu selamanya emas? Jawabnya "iya" selama dibutuhkan, "tidak" kalau diam tak lagi dibutuhkan.
Tiada guna diam saja ketika menyaksikan ketidakadilan, kecurangan dan ketidakjujuran terjadi di depan mata.
Diam melanggar norma, jika dengan sengaja membiarkan manipulasi dan korupsi terjadi di mana - mana.Lantang bicara memberantas korupsi, tapi diam-diam melakukan korupsi.
Diam bisa juga melanggar etika ketika ditanya tidak menjawab atau memalingkan muka.
Lantas bagaimana diam yang baik?Telaah para ahli, diam dikatakan baik, ketika digunakan untuk mendengarkan, memperhatikan, berpikir, mencari solusi, menahan dusta, dan menahan amarah.
Diam tidak pantas dilakukan ketika orang lain sibuk bekerja, kita diam saja. Ketika tetangga terkena musibah, orang lain bahu membahu memberikan bantuan, sementara kita diam saja.
Maknanya perlu ada kesadaran diri kapan harus diam. Kapan pula saatnya harus bicara menguak sebuah kebenaran. Bicara untuk hal- hal yang terkait kebaikan. Tetapi, saat yang lain segera berhenti berbicara, kalau yang dibicarakan mengenai keburukan atau sengaja membuat buruk atau berakibat buruk kepada orang lain.
Apalagi kalau sampai berbicara dengan memanipulasi kebaikan menjadi keburukan.
Yang baik disebut buruk, atau yang buruk dikatakan baik.
Mencitrakan keburukan semacam ini tidak saja melanggar norma dan etika, juga bertentangan dengan pedoman hidup bangsa.
Agama apa pun mengajarkan tentang kebaikan dalam berucap (berkata, berbicara), bersikap, dan bertindak.
Agama, tentu mengajak pemeluknya untuk berbicara yang baik. Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam.
Yang diperintahkan adalah bicara yang baik, bukan banyak bicara, apalagi banyak bicara yang tidak baik.
"Ojo waton ngomong, ning yen ngomong sing gawe waton” itulah pitutur luhur Jawa yang artinya jangan hanya sekadar bicara, namun apabila bicara harus bisa dibuktikan, mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bicara tanpa fakta, tanpa mengandung kebenaran, di- era sekarang disebut " hoax."
Menghadapi situasi dunia yang sedang terserang wabah virus Corona, termasuk negeri kita yang berusaha menangkalnya, dibutuhkan suasana yang lebih kondusif.
Menyebarkan berita hoax akan membuat situasi makin tidak kondusif.
Bicara baik, penuh fakta, sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketenangan.
Jika tidak tahu apa - apa tentang virus Corona, tidak tahu pasti tentang penyebaran virus Corona, tanpa fakta yang dilengkapi data, lebih baik diam tanpa bicara. Ketimbang berbicara pada akhirnya menimbulkan kegaduhan karena ketidaktahuan.
Jangan merasa diri orang penting yang harus bicara, maka bicara seadanya, tanpa memahami situasi yang sebenarnya.
Jangan karena pejabat, maka merasa perlu memberi komentar kepada rakyat, meski jauh dari tugas dan kewenangannya.
Kalau pernyataan yang dilontarlan menambah kesejukan, sangatlah diharapkan. Tetapi jika diprediksi akan menimbulkan kontroversi, lebih baik dihindari. Lebih baik diam mendengarkan.
Menjadi pejabat/ pemimpin apa pun tingkatannya bukanlah sebuah proses alami, tetapi seleksi keunggulan. Tak saja keunggulan kemampuan, juga mental dan keteladanan.
Termasuk meneladani, kapan harus berbicara, kapan saatnya diam untuk mendengarkan dan menyimak suara rakyat.
Lebih baik diam mencerna suara hati rakyat, ketimbang berkomentar menambah bingung rakyat.
Lebih elok diam untuk fokus bekerja bagi kemajuan bangsa, ketimbang bicara tentang hal - hal yang tak berguna bagi rakyat.
Pemimpin teladan, jika lebih banyak bekerja, ketimbang banyak bicara. Lebih baik irit bicara, tetapi banyak bekerja, dari pada banyak bicara, tapi sedikit kerja.
Keteladanan semacam itu bukan saja berlaku kepada pemimpin formal, juga kepada pemimpin non formal, termasuk kita semua. Mengapa? Kita semua adalah pemimpin karena sejatinya setiap manusia telah ditunjuk menjadi pemimpin, utamanya memimpin diri sendiri.
Menyadarkan diri sendiri agar tidak tergoda hati banyak berbicara terhadap hal - hal yang tak berguna. Yang bisa menambah yang menambah kegaduhan suasana.
Plato, filsuf Yunani, berpesan
"Kerendahan seseorang diketahui melalui dua hal: banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, dan bercerita padahal tidak ditanya."
(*).