Oleh Harmoko
KITA sering mendengar istilah, pepatah, slogan atau apa pun namanya, yang mengajak kita semua agar bersikap “Katakan yang benar itu benar, dan katakanlah yang salah itu salah.”
Istilah ini mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan, sesulit menegakkan kebenaran itu sendiri. Jika mengatakan yang benar sebagaimana adanya, seperti yang sesungguhnya saja sulit, apalagi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Itu yang kadang terucap. Meski begitu, seberat apa pun kesulitan menghadang, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan karena itulah perintah Undang – undang. Saudara-saudara kita yang ditakdirkan Allah Swt lahir di tanah Arab punya pepatah, atau mungkin Hadis Nabi Saw, bunyinya: "Qul lilhaq walaw kana murran" ( Katakanlah kebenaran, meskipun amat pahit ).
Masyarakat adil makmur, alias yang adil dalam kemakmuran dan makmur yang berkeadilan sebagai cita – cita bangsa dan negara dapat terwujud jika kebenaran dan keadilan ditegakkan secara benar.
Itulah sebabnya ajakan "berani membela kebenaran dan keadilan" secara gamblang dirinci dalam butir - butir pengamalan sila kedua falsafah bangsa, Pancasila.
Siapa yang mengamalkan ? Jawabnya kita semua. Negara, tentu, bertanggung jawab secara keseluruhan dalam pelaksanaannya. Dari mulai mengedukasi, memfasilitasi, mengalokasikan anggaran, memberi kewenangan kepada badan/lembaga yang bertanggungjawab atas pelaksanaan itu hingga evaluasinya.
Kita sebagai warga negara, sebagai anak bangsa ikut pula berkewajiban mengamalkan, mulai dari masing – masing individu, keluarga, dan masyarakat secara bersama – sama.
Perlu kesungguhan dan keberanian karena kebenaran takkan terungkap jika masyarakat tak berani mengungkapnya atau mendirikannya. Kesalahan akan selamanya tersembunyi, jika saling menutupi.
Kuncinya terletak kepada diri kita masing – masing. Beranikah mengatakan kebenaran yang sesungguhnya meski terasa pahit untuk mengatakannya? Maukah menguak kesalahan meski risiko buruk bakal dihadapi.
Kadang kita tahu persis fakta yang sesungguhnya sebagai sebuah kebenaran, tetapi karena satu dan lain hal, kita tidak berani mengatakannya. Begitu juga kita tahu kesalahan yang dilakukan seseorang, tapi karena satu dan lain hal, terpaksa "berkura-kura di dalam perahu" alias "pura-pura tidak tahu." Berusaha menutupinya. Mengetahui apa yang terjadi, tetapi karena berbagai pertimbangan, pura – pura tidak tahu apa yang terjadi.
Ini manusiawi, tetapi demi kepentingan yang lebih besar, haruskah senantiasa bersikap menutupi?
Tidak ada seorang pun berkehendak yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar.
Kita semua tentu tidak ingin kebenaran palsu tumbuh subur menebarkan aroma "kebohongan" yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dapat pula menimbulkan rasa saling curiga, salah paham dan menajamnya perselisihan.
Dalam lingkungan masyarakat yang jauh dari soliditas, kebenaran dan keadilan makin sulit ditegakkan seperti dikatakan ulama besar kebanggaan Indonesia, KH.M.Hasyim Asy’ari, "Sungguh kebenaran bisa lemah karena perselisihan dan perpecahan. Sementara kebatilan kadang menjadi kuat sebab persatuan dan kekompakan”
Apa yang dikatakan pahlawan nasional ini mengajak rakyat Indonesia merapatkan barisan, memperkuat persatuan dan kesatuan untuk mengusung kebenaran. Dengan persatuan kita hadang kebatilan. Jika kita pecah dan lengah, kebatilan yang akan menjadi kuat dan menghadang kebenaran.
Namun jangan karena kebenaran sudah menjadi kuat, lantas diberlakukan secara seenaknya dan semena - mena.
Kebenaran akan tetap menjadi benar, jika diterapkan secara baik dan benar pula.Dengan penuh kejujuran dan kesabaran, tidak tergesa – gesa, tidak ragu, tidak ceroboh, tidak dalam keadaan marah, emosi, tidak pula terprovokasi.
Menegakkan kebenaran bukan karena dilatar- belakangi sifat iri dan dengki, bukan pula dengan mengedepankan kebencian. Karena menegakkan kebenaran dengan kebencian dapat melahirkan ketidakadilan. Mestinya, di mana ada kebenaran di situ terdapat keadilan. Karena keadilan itu adalah kebenaran dalam pernyataan atau pun perbuatan.
Kebenaran bukanlah hiasan kata- kata, tetapi fakta dan realita nyata sesungguhnya. Cermin kebenaran akan terukur dari sikap dan perilaku nyata setiap manusia di mana pun berada, apa pun profesinya.
Mari bersama tegakkan kebenaran. Karena sekecil apa pun juga kebenaran akan sangat bermakna, ketimbang sama sekali tidak ada.
Sekiranya mampu, lakukanlah dengan perbuatan, jika kurang mampu lakukanlah dengan lisan! Masih tidak mampu juga, lakukanlah dengan hati.
Kebenaran yang sejati itu sesungguhnya berada di dalam diri kita, hati kita.
Karenanya, lakukan apa yang menurut hati nurani kita benar, meskipun menghadapi kritikan.
Boleh jadi, kita dicela apabila mengerjakan, tetapi tetap dicela juga sekiranya tidak mengerjakan.
Pilih yang mana? Jawabnya, tentu pilih menegakkan kebenaran sesuai hati nurani, meski akan mendapat celaan.
Kalau sudah dalam posisi terpaksa, melakukan hal benar jauh lebih baik daripada terpaksa melakukan hal yang salah. Lebih-lebih menyembunyikan kesalahan. (*).