Di negara lain, sebut saja Roma misalnya, juga mengajarkan soal penghargaan terhadap budaya setempat seperti peribasa yang berbunyi "When in Rome, do as the Romans do." Secara literal berarti ketika berada di Roma, maka kerjakan/lakukan apa yang orang Roma lakukan/kerjakan.
Tetapi karena kalimat ini "saying" peribahasa, maka maknanya seirama dengan " Deso mowo coro, negoro mowo toto".
Yang hendak saya sampaikan adalah menghargai, memupuk kearifan lokal adalah kewajiban bagi semua anak bangsa.
Sebab, kearifan lokal adalah potensi negeri. Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Sementara kita dapat pahami bahwa bangsa akan besar atau menjadi besar, jika memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya luhur, nilai - nilai yang digali dari budaya masyarakatnya, bukan menjiplak budaya asing.
Dengan kearifan lokal akan terbangun suatu budaya bangsa yang memiliki akar, dan terdapat pula pondasi kuat dan abadi.
Inilah yang perlu kita jaga melalui kesadaran diri, purba diri dan pengendalian diri.
Pola yang dilakukan hendaknya tiada henti mengedukasi dari lingkup terkecil, di lingkungan keluarga, masyarakat hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini tugas kita semua. Setiap orang bertanggung jawab kepada dirinya, keluarganya, jika memungkinkan kepada lingkungan sekitar.
Pemerintah bertanggung jawab atas terwujudnya pembetukan karakter luhur yang bersumber dari kearifan lokal.
Edukasi bisa dilakukan secara legal formal melalui kurikulum pendidikan karakter bangsa.
Ini menjadi penting mengingat salah satu fungsi pendidikan adalah
membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik.