JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang ada upaya stigmatisasi dalam kebebasan berekspresi di era pemerintahan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Aktivis KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan pemerintah kerap menyematkan label anarko, komunis, makar dan radikal kepada orang-orang yang berekspresi menyuarakan pendapatnya.
"Itu menjadi isu-isu yang kerap kali digoreng pemerintah untuk menaikkan popularitas, namun juga untuk menyajikan sebuah konsep nasionalisme sempit," ujarnya di kantor KontraS, Kwitang Jakarta Pusat, Senin (27/1/2020).
Fatia melihat upaya pembatasan kebebasan berekspresi masyarakat sipil sudah dimulai sejak akhir periode pertama pemerintahan Jokowi. Hal itu berlanjut hingga di 100 hari pemerintahan Jokowi pada periode kedua.
"Jadi di sini kita bisa melihat sektor yang paling diancam pemerintah dalam periode kedua Jokowi, mungkin sebelum jJokowi di akhir-akhir fase pertama, memang itu sudah mulai terancam dengan adanya banyak penangkapan setekah aksi reformasi dikorupsi," jelasnya.
KontraS mencatat dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ada 89 orang yang menjadi korban menyempitnya ruang kebebasan berekspresi. Fatia menyebut sebagian besar korban itu dari kalangan mahasiswa.
"Banyaknya kasus-kasus pembatasan dan juga pelarangan terhadap kebebasan berekspresi seperti yang kita catat hanya dalam 100 hari ini, sudah terdapat 49 kasus terkait soal kebebasan berekspresi dan mengorbankan 89 orang. Di mana kebanyakan dari korban tersebut adalah mahasiswa," ungkap Fatia. (ikbal)
Aktivis KontraS, Fatia Maulidiyanti saat memaparkan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dalam 100 hari. (ikbal/yp)