Rakyat Bawah Butuh Rumah

Rabu 22 Jan 2020, 06:35 WIB

SETIAP warga negara berhak memiliki tempat tinggal alias rumah. Hanya saja tidak semua warga negara mampu  memiliki rumah tinggal karena berbagai  hal, satu di antaranya penghasilan di bawah rata – rata. Untuk mereka yang memiliki gaji sebesar Rp4 juta per bulan masih sulit untuk memiliki rumah, apalagi di wilayah Jabodetabek.

Itulah sebabnya program perumahan rakyat, di antara rumah subsidi diluncurkan pemerintah dengan tujuan memfasilitasi kepemilikan rumah.

Di Jakarta, Pemprov DKI meluncurkan progarm rumah rakyat dengan DP nol rupiah, dengan tujuan membantu warga untuk dapat segera memiliki rumah tanpa membayar uang muka.

Masih banyaknya warga berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah terungkap juga dari hasil penelitian  Aliansi Pembangunan Perumahan  Nasional ( Appernas) Jaya. Lembaga ini menyebut angka 40 persen rakyat bawah belum punya rumah, meski secara ekonomi mampu membayar angsuran.

Lanta apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong percepatan kepemilikan rumah? Jawabnya tentu bisa beragam, tetapi yang pasti alokasi dana untuk membantu warga menengah ke bawah perlu diperbesar. Program rumah bersubsidi perlu ditingkatkan lagi, bukan hanya jumlahnya, tetapi pemerataan. Bahkan, penyederhanaan administrasi. Sebab, tak jarang warga memiliki kemampuan membayar angsuran, tetapi karena terbentur persyaratan/ administrasi terkait dengan masalah perbankan, kadang memiliki rumah hanyalah impian. tak sedikit mereka yang memiliki usaha swasta/ usaha rumahan dengan penghasilan lumayan, lebih besar dari pekerja kantor, sulit mendapatkan akses kepemililan rumah karena terbentur persyaratan, seperti surat rekomendasi tentang usahanya.

Di era sekarang banyak anak muda yang memiliki usaha sendiri dengan penghasilan lebih besar dari pegawai kantoran. Mereka mendapat honor yang jika di rata – rata, tiap bulannya di atas angka 7 juta rupiah. Tetapi karena mereka tidak memiliki legalitas perusahaan seperti  CV atau PT, mereka juga bukan pekerja tetap pada satu perusahaan atau institusi, maka akan terbentur surat keterangan kerja dari kantornya sebagai satu syarat mendapat kredit dari perbankan.

Lazimnya ketika mengajukan kredir perumahan, satu syarat yang diminta adalah surat keterangan soal penghasilan/ gaji yang diterima setiap bulan yang dikeluarkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sementara generasi milenial sekarang ini cenderung memilih bekerja tidak terikat kerja pada satu kantor. Mereka bekerja berdasarkan proyek / order dari sejumlah relasi karena hasilnya lebih tinggi. Tak jarang mereka mampu membayar uang muka rumah, tetapi begitu akad kredit terbentur persyaratan. Ini satu kendala yang perlu dicarikan solusinya.

Uang muka nol rupiah memang menjadi solusi bagi warga DKI yang memiliki pekerjaan tetap, tetapi bagaimana dengan rakyat bawah yang kerja serabutan.

Sementara hak mereka sama untuk hidup dan menjalani kehidupan, hak bertempat tinggal dan memiliki rumah. Setiap warga negara juga berhak  memilih jenis pekerjaan/ profesi. Dengan begitu, pemberian fasilitas kepemilikan rumah hendaknya tidak dibatasi, apalagi dibedakan karena profesi, jenis pekerjaan yang ditekuni.

Pemerintah sedang giat menciptakan banyak lapangan dengan mendorong usaha mandiri. Sejalan dengan itu hendaknya akses usaha mandiri, perlu difasilitasi, termasuk dalam hal kepemilikan rumah. (*)

News Update