Kaji Ulang Rencana Kenaikan Harga Elpiji

Jumat 17 Jan 2020, 09:05 WIB

RENCANA pemerintah mencabut subsidi gas LPG ((liquefied petroleum gas) atau elpiji 3 kilogram membuat masyarakat terutama kelas menangah ke bawah, kini gelisah. Subsidi dihapus, harga gas sudah pasti melambung. Padahal kondisi ekonomi rakyat sedang ‘kembang kempis’.

Menyoal gas elpiji, si melon ini memang selalu kerap membuat masyarakat resah. Mulai dari harga yang tidak seragam hingga seringnya terjadi kelangkaan barang, selalu membuat masyarakat terutama ibu rumah tangga tidak tenang. Sudah berulang kali pemerintah berencana menaikkan harga si melon dengan membuat berbagai aturan.

Pada 2018 pemerintah beerencana memangkas subsidi harga gas setelah rencana sebelumnya, mengurangi subsidi Rp1.000/kg atau Rp3000/tabung gagal terealisasi lantaran banyak ditentang. Tetapi akhirnya batal. Lalu wacana persyaratan fotocopy KTP bagi pembeli elpiji. Tujuannya, supaya gas bersubsidi tepat sasaran. Tapi rencana ini batal karena KTP tidak mencantumkan status sosial warga miskin atau kaya. 

Kini, kebijakan baru akan diberlakukan. Subsidi gas akan dicabut, dengan kata lain harga gas 3 kilogram di tingkat eceran bisa melambung menjadi Rp35 kilogram, dari sebelumnya Rp22.000-Rp24.000. Kebijakan ini dipastikan akan berdampak luas di masyakarat serta pelaku UMKM. 

Jujur saja, kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih gonjang-ganjing. Menyongsong tahun 2020, masyarakat disodorkan dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik serta iuran BPJS Kesehatan. Tetapi akhirnya rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) 900 VA, batal setelah mendapat penolakan banyak pihak.  Tetapi iuran BPJS tetap dinaikkan meski ditentang masyarakat. 

Naiknya iuran BPJS sudah menambah beban masyarakat di tengah pelayanan kesehatan yang belum maksimal. Bila pertengahan tahun ini pemerintah betul-betul mencabut subsidi elpiji 3 kilogram, sama saja rakyat kian sengsara. 

Menurut hemat kami, sebelum menerapkan kebijakan tersebut, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Lebih tepat bila pemerintah membenahi regulasi tentang gas bersubsidi supaya tepat sasaran.  Dengan begitu, kuota bisa dikurangi apabila subsidi betul-betul jatuh ke tangan masyarakat yang berhak. 
Saat ini parameter masyarakat yang disebut miskin saja belum jelas. Di tengah situasi perekonomian yang sulit saat ini, pemerintah jangan membuat kebijakan tidak bijak dan tidak pro rakyat. **

Berita Terkait

News Update