AKBP Pujiyarto, Batal Jadi Guru Berkarir di Kepolisian

Jumat 17 Jan 2020, 08:20 WIB
AKBP Pujiyanto, Kabag Binops Ditreskrimum Polda Metro Jaya. (ilham)

AKBP Pujiyanto, Kabag Binops Ditreskrimum Polda Metro Jaya. (ilham)

TIDAK banyak yang tahu,  Kabag Binops Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Dr. H. Pujiyarto, SH, MH, sebelumnya lulusan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Namun karena panggilan hati, ia pun lanjut masuk Secaba di SPN Lido tahun 1984. 

Setelah lulus 1985 angkatan V,  Pujiyarto pernah menjadi sopir Spry dan Karumga  Kapolri kala itu, almarhum Jendral  Dibyo Widodo. Pujiyarto pun kemudian mengikuti pendidikan Secapa angkatan XXVI (WSC), dan masuk di bidang keresersean. 

“Reserse adalan satuan kerja yang lengkap dalam pelaksanaan tugasnya melindungi dan melayani masyarakat di bidang penegakan hukum. Mulai penyelidikan, penyidikan, pemberkasan, penyerahan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan  hingga akhirnya disidangkan,” ungkapnya.
 
Di bidang ini, Pujiyarto memiliki segudang pengalaman. Tercatat ia pernah menjadi Kanit Judi Susila Polres Jakbar, Kanit Reskrim Polsek Taman Sari, Kanit Krimum Polres Jakarta Barat, Wakasat Reskrim Jakbar, Wakasat Reskrim Jakarta Utara, sebelum akhirnya menjadi Kabagbinopsnal Ditreskrimum PMJ.
 
Karirnya tergolong cemerlang tidak terlepas dari keinginan Pujiyarto untuk terus belajar, terutama dalam ilmu hukum. Ia pun menimba ilmu hukum non kedinasan di beberapa universitas, hingga meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta  pada 2018 lalu. Judul desertasi, 

“Kepastian Hukum Dalam Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pendekatan Keadilan Restoratif”.
 
Di desertasinya, dibahas tentang penghentian proses penyelidikan dan penyidikan dan pelapor sepakat mencabut laporan polisi. Penyidik berwenang menghentikan proses hukum dan SP3, diselesaikan di luar peradilan. Menurutnya, tidak semua perkara pidana harus diselesaikan di depan peradilan, seperti pencurian ringan, pencurian biasa yang kerugian di bawah Rp2,5 juta, penganiayaan, penipuan dan penggelapan.
 

PERLU UU
Kasus-kasus tersebut merupakan delik umum, dengan ketentuan pencabutan dan perdamaian tidak bisa menggugurkan pidana. “Kita harus menyamakan pemikiran tentang pencabutan perdamaian, bisa dihentikan, tapi perlu perangkat hukum seperti undang-undang yang digunakan di Rusia dan Belanda,” tuturnya.
 
Meskipun begitu,  dia ingin dalam undang-undang tersebut ada batasan kasus pidananya. “Seperti pelaku bukan residivis, bukan kejahatan terhadap anak dan bukan pidana yang mengakibatkan meninggal dunia,” katanya. Pujiyarto berharap desertasinya ini berguna menyamakan sudut pandang hukum terhadap kasus pencabutan laporan dan perdamaian oleh penegak hukum, jaksa, hakim, penasehat hukum serta masyarakat.
 
Selain itu dapat menjadi dasar penyidik Polri, dan tidak tebang pilih dalam perkara saling damai, mencabut laporan bisa sama tanpa syarat. Capaian yang diraihnya ini, selain anugerah dari Allah, juga adanya dukungan keluarga. “Kita pelindung dan pengayom masyarakat, selalu mendahulukan dinas dari pada keluarga. Seperti Hari Raya Idul Fitri dan tahun baru, pasti siaga. Keluarga selalu mendukung,” ucapnya. (ilham/iw)


News Update