DI tengah musibah bencana longsor dan banjir yang melanda Jawa Barat, Jakarta dan Banten, yang menelan korban 60 jiwa, negeri ini diganggu dengan ‘serbuan’ kapal coast guard China. Armada kapal China mengawal kapal pencuri ikan di laut Natuna, wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
China mengklaim 30 persen wilayah laut Natuna adalah milik mereka. Padahal justru mereka yang melanggar hukum laut internasional, UNCLOS 1982. Pemerintah dengan tegas menolak tindakan China melanggar batas wilayah Indonesia. Bahkan TNI pun menyatakan siaga tempur.
Darah pejuang yang mengalir di diri bangsa Indonesia bangkit. Melawan Belanda saja berani, meski hanya bersenjata bambu runcing. Aksi China menjadi perbincangan hot mulai dari warung kopi hingga kedai-kedai ngopi tempat tongkrongan kaum milenial. Ada yang menggebu-gebu menggaungkan ‘siap tempur’, tapi tidak sedikit yang lebih menggunakan logika.
‘Emang kita siap tempur Coy. Bukannya nanti malah mati konyol,” kata satu mahasiswa di kedai kopi. ‘Emang kekuatan angkatan perang kita berapa?’ sahut yang lain. ‘Kita ini terikat utang dan investasi. Perang nggak ya,” sambung pemuda lainnya sedikit gamang.
‘Ini menyangkut harga diri dan kedaulatan negara. Kita wajib bela NKRI. Jangan dikira semut kalah dengan gajah. Jangan gentar,’ cetus yang lain.
Apa yang diperbincangan anak-anak muda itu benar semua. China melanggar hukum internasional, kita wajib membela negara, tapi juga tidak menafikkan fakta. Jumlah tentara aktif China mencapai 2,7 personel, terkuat ketiga di dunia, dan terkuat di Asia. Belum lagi jutaan tentara tidak aktif, yaitu warga yang mengikuti wajib militer, yang setiap saat siap tempur. Sedangkan Indonesia jumlah tentara sekitar 800 ribu personel.
Kekuatan perang negeri Tirai Bambu boleh saja di atas Indonesia. Tapi sejarah mencatat, semangat bela negara para pemuda di negeri ini telah teruji ratusan tahun lamanya kala dijajah Kompeni. Siaga tempur telah mengobarkan semangat menjaga kedaulatan NKRI. – (ird)
