Irjen Laksmi: Pemindahan Ibukota, KLHK Lakukan Identifikasi Masalah

Kamis 19 Sep 2019, 01:07 WIB

JAKARTA - Dalam proses pemindahan Ibu Kota ini, kita harus melihat bagaimana posisi Kalimantan Timur dalam konteks Indonesia secara keseluruhan, bagaiaman dispraitas terhadap provoinsi lainnya sehingga kita bisa menganalisasi berbagai hal dengan valid. Hal itu disampaikan Irspektur Jenderal  KLHK, Laksmi Wijayanti, dalam Focus Grup Discussion (FGD) tentang kajian Lingkungan Strategis  (KLHS) Pemindahan Ibu Kota di Kalimanatan Timur yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK), Rabu (18/9/2019). “Visi kita, semua pembangunan dan persiapan ibu kota harus green dan juga membangun kebiasaan dan budaya jalan kaki lebih dipraktekkan,” katanya dalam acara yang dipimpin Menteri  LHK, Siti Nurbaya. Menurut  Laksmi, pihak KLHK akan terus melakukan FGD dengan para ahli dan lebih fokus agar daya dukung lingkungan makin memadai. ”Kita juga mendapatkan banyak informasi terkait pemindahan ibukota ini. Identifikasi masalah seprti kekhawatiran hutan Kalimantan rusak, ketakutan air bersih yang sulit, reaksi dunia luar atas hutan Kalimantan yang bisa rusak. Karena itu perlu kita sosialisasikan bagaimana tata ruang dna juga infrastruktur di sana,” katanya. Sementara pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan, Judith J. Dipodiputro mengatakan dirinya sangat menghargai undangan Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya pada  100 eksekutif dari berbagai sektor. Baik yang bertugas di tingkat nasional, maupun daerah. Termasuk juga beberapa  yang  bertugas di luar negeri “Walau kami hadir sebagai pribadi, namun menghasilkan FGD yang kaya juga karena kemajemukan latar belakang profesi dan sektor,” ujar Judith yang juga pemerhati masalah lingkungan hidup, konservasi alam serta pernah bertugas di Menurut Judith, Kalimantan Timur cukup porak-poranda akibat pertambangan. Ini berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat dan kemiskinan.  Bahwa Ibukota baru akan menjadi Rainforest City, itu komitmen yang luar biasa. Artinya akan terjadi reklamasi/pembenahan bekas-bekas tambang dan reforestasi. Nah, hal ini belum banyak terungkap ke publik sehingga perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Ini komitmen luar biasa dari pemerintah terhadap restorasi dan konservasi alam. Komunikasi ini juga perlu dilakukan secara aktif ke dunia internasional melalui perwakilan-perwakilan kita di manca negara. Ada salah persepsi dan pengetahuan. Dunia berpikir bahwa Ibukota baru akan membuka hutan, padahal sebaliknya: merestorasi bekas tambang dan melakukan reforestasi. “Yang amat menarik dan menjadi pencerahan dari FGD tadi adalah adanya beberapa peserta yang mewakili aspirasi suku asli, antara lain rekan dari propinsi Papua (Ibu Rosaline Rumaseuw) dan dari suku betawi (Ibu Imas Shidiq). Suara mereka menyarankan perlunya pemerintah mempertimbangkan membentuk sebuah tim yang secara khusus dan fokus pada penyertaan suku-suku asli dalam growth yang akan dihasilkan oleh kehadiran Ibukota baru,” ujar Judith. Kemudian kata Judith, ada tantangan kita semua untuk membawa konsep kebhinekaan selangkah lebih jauh lagi: yaitu konsekwen bahwa kita tidak saja bhinneka dari aspek kesukuan, tetapi juga dari pilihan pola hidup. Masih ada saudara kita di Kalimantan yang secara sadar memilih untuk tidak berkehidupan dalam peradaban abad 21 ini. “Mereka memilih untuk berkehidupan peradaban yang lebih sederhana, mungkin peradaban 100-200 tahun lalu. Dalam konsep keadilan sosial, Pemerintah harus siap mengakomodasi permintaan suku-suku asli untuk memilih kehidupan yang mereka pahami dan inginkan (the life they want and the life they understand),”paparnya. (*/win)

News Update