ADVERTISEMENT

Kebo Nyusu Gudel

Sabtu, 11 Mei 2019 04:41 WIB

Share
Kebo Nyusu Gudel

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh S Saiful Rahim“TANGGAL 22 Mei nanti warung ini buka nggak, Mas Wargo?” tanya Dul Karung seraya langsung mencomot singkong goreng yang masih kebul-kebul. “Memang kenapa? Kau ingin melunasi utang-utangmu, ya?” tanya orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Utang itu sertifikat kepercayaan seseorang terhadap kita. Tak mungkin kita dibolehkan berutang bila tidak dipercaya. Karena itu jangan sekali-kali berpikir untuk buru-buru melunasi utang piutang. Pemerintah kita berutang ke mana-mana, dan dari waktu ke masa bukanlah lantaran kita ini miskin. Jangan lupa! Yang mengelilingi dan membelah negeri kita menjadi pulau-pulau, kata ”Koes Plus” bukan lautan, tapi kolam susu. Iya kan?” kata Dul Karung sambil mengunyah singkong goreng. Ucapan, bahkan teriakan, “huuuuuuu” yang amat panjang pun menyergap perkataan Dul Karung. Kecuali Mas Wargo yang memang tak suka ikut campur obrolan langganannya, terus asyik menggoreng talas, ubi, singkong dan lain-lain. “Astaghfirullah al azim! 22 Mei yang tinggal sepuluh hari lagi itu adalah sebuah hari yang penting. Hari itulah kita semua akan tahu apakah seluruh rakyat dan negeri ini akan punya presiden baru atau presiden yang sekarang tetap dipercaya dan dianggap mampu terus menjadi presiden.” “Lho, apa hubungannya dengan ditutup atau tidak ditutupnya warung ini?” potong orang yang entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Barangkali Mas Wargo sudah niat ingin pulang kampung bila capres pilihannya terpilih jadi presiden. Selain itu mungkin dia juga mau ziarah ke makam leluhur, yang menjelang Puasa kemarin tidak bisa dilakukan,” tutur Dul Karung dengan agak sok tahu. “Dan satu lagi!” serobot orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang. “Mungkin juga dia ingin belajar kembali tinggal dan buka warung kopi bukan di Ibukota. Bukankah para penggede negeri kita kini banyak yang bicara ingin memindahkan Ibukota dari Jakarta dan sekaligus ke luar Jawa,” sambung orang itu. “O iya, Dul! Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, bagaimana tanggapan dan perasaanmu bila Ibukota dipindah ke luar Jakarta. Bahkan keluar Pulau Jawa?” tanya orang yang duduk di kanan Dul Karung, sambil membelai-belai punggung Si Dul. “Silakan saja. Indonesia kan luasnya dari Sabang sampai ke Merauke. Begitu juga Jakarta. Malah kalau Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke, Jakarta bukan cuma dari Tanah Abang sampai Rawa Bangke, yang sekarang diganti namanya jadi Rawa Bunga. Jakarta itu di dalamnya ada Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan macam-macam seperti itulah,” jawab Dul Karung yang kali ini sambil nyeruput teh manisnya yang sudah mulai dingin. “Lagi pula Si Dul itu walaupun mengaku anak Betawi, tapi dia tak punya rumah, apalagi tanah di Jakarta. Padahal di mana-mana di Jakarta, bahkan sampai Kebun Sirih, Kebun Kacang, Kebun Sereh, Kebun Jahe, bahkan Kebun Kosong pun penuh dengan rumah,” kata orang yang duduk tepat di kanan Dul Karung, mengundang tawa para hadirin. Kecuali tawa Dul Karung dan Mas Wargo yang tidak suka mengejek pelanggannya. “Eh, kalau tanggal 22 Mei nanti warung kopi Mas Wargo ini tidak ditutup, kita kumpul di sini saja, ya?!” ajak Dul Karung tanpa ada yang tahu apa maksudnya. “Gak ah! Lebih baik nonton televisi di rumah masing-masing. Menunggu kabar siapa yang menang Pilpres tahun ini,” tolak orang yang duduk di depan Mas Wargo. “Betul itu! Lebih baik diam di rumah masing-masing. Kalau ada huru-hara kita tak kena getahnya,” kata orang yang duduk tepat di kanan Dul Karung. “Lho, minggu lalu dalam celotehan di warung ini kita sudah mengatakan bahwa dalam hal bersikap demokratis negeri kitalah yang paling hebat. Kita sudah punya “Pahlawan Demokrasi” padahal Amerika Serikat yang mengaku paling demokratis belum punya. Kok sekarang kuatir hari pengumuman hasil Pilpres/wapres akan jadi hari huru-hara?” kata orang yang entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Takut ono kebo nyusu gudel” jawab Mas Wargo yang jarang ikut campur obrolan pelanggannya. “Apa, Mas?” tanya Dul Karung dengan cukup keras. “Ono kebo nyusu gudel itu artinya ada kerbau menyusu kepada anaknya. Dan “kerbau menyusu kepada anaknya” adalah kiasan “orangtua meniru tingkah laku anaknya.” Nah, sekarang kan banyak sekali anak-anak yang tawuran tanpa alasan. Cuma diajak dengan kata-kata “kita berantem yuk” lewat telepon genggam, mereka pun datang dan bertemu di tempat yang disepakati. Lalu tawuran dengan menggunakan senjata tajam. Kini ada tanda-tanda orang yang sudah tua tapi belum bisa menjadi orangtua, mau meniru anak-anak berantem, alias berhantam secara babi buta. Itulah kias “kebo nyusu gudel” alias kerbau menyusu kepada anaknya,” kata Mas Wargo yang biasanya tidak suka ikut campur dalam obrolan pelanggannya. ( *** )

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT