ADVERTISEMENT

Kukira Benar Indonesia Punah

Sabtu, 29 Desember 2018 06:40 WIB

Share
Kukira Benar Indonesia Punah

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh S Saiful Rahim SAMBIL melangkahi ambang pintu masuk warung Mas Wargo, Dul Karung mengucapkan  “assalamu ‘alaykum” dengan luar biasa fasihnya. “Kum salam!” jawab seseorang seenaknya saja. “Salammu kayak ustad mau ceramah saja Dul,” sambungnya sambil mengulurkan tangan dan mereka pun berjabatan. “Memberi dan menjawab salam, kata guru Marzuki harus takzim. Baik ketika mau melamar pacar atau mau menagih utang,” potong orang yang entah siapa dan duduk di sebelah mana. “Yaaaa, jangan nyebut-nyebut utang dong. Ntar Si Dul balik kanan, dan langsung pergi lagi,” sindir orang yang duduk di dekat pintu masuk seraya memiringkan badannya agar Dul Karung leluasa masuk. “Aku kira kau sudah di daerah tsunami di Banten sana. Aku ingat kau pernah cerita dulu kau pernah mondar-mandir di daerah tersebut. Kau punya teman di Labuan, Anyer, Panimbang, Saketi, Menes, Batubantar, dan entah di mana lagi,” kata Mas Wargo yang biasanya jarang ikut campur obrolan para pelanggannya. “Oh itu cerita zaman pertengahan tahun 1950-an ketika masih ada keretapi kecil, sarana transportasi umum dari Rangkasbitung sampai Labuan. Sekarang saya tidak mau bicara soal itu. Tapi soal BMKG yang terlambat tahu adanya tsunami, sehingga timbul banyak korban. Baik harta maupun jiwa. Bukan jiwa kecoa, tetapi manusia. Walaupun korban itu bukan teman-teman lama saya, tapi astaghfirullah mereka itu manusia seperti kita,” kata Dul Karung dengan suara parau dan air mata mengembang. “Betul Dul! Aku ketika melihat bencana itu di televisi juga langsung beristighfar. Semula kukira Indonesia benar-benar punah seperti ….” “Stop-stop! Jangan teruskan Indonesia punah seperti dikatakan oleh bapak entah siapa! Ngelanturnye cukup sampai di sini saja. Kita ngomongin yang lain aja deh,” kata Dul Karung sambil berdiri dan menggoyangkan tangannya. Lalu teriakan “akuuuuur” yang amat panjang pun bergema di seantero warung Mas Wargo. “Sekarang kita bicara tentang Pasar Tanah Abang lagi, deh,” usul orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang. “Emang sekarang ade ape lagi di sane?”  tanya orang yang duduk di sebelah Dul Karung. “Ya masih bebenah juga. Betulin sana rapiin sini. Jangan-jangan akhirnya kayak Blok G dulu. Setelah beberapa hari diresmikan semua kios dipadati pedagang, tapi belum seminggu, sudah sepi lagi. Kayak sentiong alias kuburan Cina,” kata Dul Karung sambil ngeloyor pergi. ***

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT