MENYAMAR bagi setiap anggota Polri, salah satu cara menangkap penjahat. Namun, undercover kerap tak berjalan mulus. Bahkan sering mengecewakan. Informasi yang diterima dari cepu atau informan yang biasa disebut A Satu alias valid kadangkala meleset. Pengalaman pahit ini pernah dialami Kompol Indra Tarigan, Kasat Narkoba Polresta Depok. Kala itu, diawal kariernya sebagai insan Krops Bhayangkara, dia mendapat informasi transaksi sabu 1 kilogram. Informasi dari anak buahnya itu dari informan yang terpercaya. Sebagai Katim Penyidik Satresnarkoba, dia bersama seorang anak buah menyaru sebagai pembeli untuk meringkus bandar sabu. “Saat transaksi itu kami tangkap bandar, tapi setelah diperiksa, yang disita ternyata kristal gula batu,” kenangnya, kemarin. Saat itu dia marah besar sekaligus intropeksi diri. Anak buahnya dia kumpulkan termasuk informan. “Saya berikan pencerahan, informasi yang masuk, harus check and rechcek hingga yakin A Satu sebelum melakukan penyaraman. Saya juga jadikan pengalaman itu sebagai intropeksi diri,” ucap lulusan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPPPS) tahun 2000 ini. Pengalaman pahit ini menjadikan guru berharga bagi kariernya di kepolisian. Sejak itu, setiap mendapat informasi dia olah bersama anak buahnya. Setelah yakin, dia bersama anggotanya melakukan penyamaran hingga berbuah manis. Sejumlah pengedar dan bandar dia ringkus. Tak heran, selama 18 tahun menjadi polisi, dia banyak ditugaskan di satuan narkoba. “Sempat menjadi Kapolsek Senen, lalu dipromosikan menjadi Kasat Narkoba,” ujarnya. Meksi baru pertama kali memegang jabatan mentereng ini, dia sudah menorehkan prestasi membanggakan. Delapan bulan menjadi polisi yang bertanggung jawab terhadap peredaran narkoba di wilayah Depok, dia sudah menangkap 120 lebih pemakai, pengedar dan bandar narkotika. Termasuk pada 15 Oktober lalu, empat anggota sindikat ganja Aceh-Bogor dia bongkar dengan menyita 69 kilogram ganja. SEDERHANA Terlahir dari keluarga sederhana sebagai bungsu dari enam saudara, tak membuat Tarigan kecil manja. Sejak SD dia sudah terbiasa membantu ibu berdagang makanan kue yang dititipkan ke warung. Maklum gaji ayahnya sebagai pegawai negeri golongan kecil, tak cukup buat biaya sekolah keenam putra putrinya. Usai menamatkan kuliah, dia masuk SIPP. “Saya ingin menjadi polisi. Bukan buat gagahan atau biar keluarga terpandang, saya ingin basmi peredaran narkotika. Barang laknat itu sudah merusak masa depan teman-teman sekolah saya dulu yang terjerumus dalam lingkaran narkotika,” tandasnya. Gayung pun bersambut. Lulus dari SIPP, dia banyak ditugaskan dan bergelut di dunia narkotika. Dari pengalaman itu, Indra tahu persis, narkotika di satu sisi akan membuat nyawa penggunanya melayang dan di sisi lain menguntungkan bagi pengedarnya. “Salah satu cara mencegahnya, lindungi keluarga dan lingkungan dari bahaya laten narkotika. Katakan, tidak pada narkoba. Dia musuh bersama,” pungkas bapak dua anak ini. (angga/iw)