ADVERTISEMENT

Kapal Tenggelam, Tokoh Adat Gelar Ritual 'Menguras Tao' di Danau Toba

Sabtu, 23 Juni 2018 10:13 WIB

Share
Kapal Tenggelam, Tokoh Adat Gelar Ritual 'Menguras Tao' di Danau Toba

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

MEDAN – Sebagian masyarakat di sekitar Danau Toba meyakini tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun ada kaitannya dengan hal mistis yang 'mendiami' Danau Toba. Selain fenomena ikan mas raksasa, disebut-sebut ritual 'Manguras Tao' juga ada hubungannya. Manguras Tao yaitu ritual memberikan persembahan kepada penguasa Danau Toba, yakni Saneang Nagalaut, dan pemilik kekuatan lain yang mendiami Danau Toba seperti Partambak Simonang-monang, Partao Nabolak, dan Partao Sitio-tio. Ritual ini dilakukan untuk mencegah atau mengatasi amukan para penghuni danau yang marah karena perilaku manusia 'mengotori' danau. "Mengotori bukan hanya dalam arti membuang sampah ya. Berperilaku tidak sopan atau berbuat hal-hal tak senonoh di atas Danau Toba juga termasuk mengotori," kata Krimson Malau, tokoh adat Samosir. Tenggelamnya KM Sinar Bangun diduganya merupakan imbas kemarahan 'penguasa' Danau Toba kepada manusia. "Dahulu, kalau warga mendapat sesuatu yang aneh dari Danau Toba, harus dipertanyakan dahulu kepada tetua adat, agar tidak mengundang amarah penghuni danau," ujar Krimson. Dijelaskannya, ritual Manguras Tao dilakukan oleh 10 tetua adat dari lima kampung di Situngkir Parbaba, Samosir, yang diyakini berusia paling tua dibanding kampung-kampung lain. Sepuluh  tetua adat itu akan menyerahkan persembahan berupa seekor kambing putih, diiringi musik Gondang Pangelek. Mulai dari penyembelihan kambing, hingga memasak kambing, semua dilakukan di danau. Setelah dipersembahkan, daging kambing akan dimakan seluruh masyarakat dari kelima kampung itu yang turut hadir pada ritual," terang Krimson. Seorang warga Samosir lain, Junianti Sinaga, juga mengatakan demikian. Ia menyesalkan tentang ritual Manguras Tao yang kini sudah bergeser menjadi event wisata dan hilang kesakralannya. Sudah seperti sirkus acara Manguras Tao dibuat. Dianggap sepele. Padahal itu upacara sakral dan penting," pungkas Junianti. Diberitakan, berbagai upaya telah dilakukan dalam pencarian korban atas tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Senin (18/6/2018) lalu. Sejak tenggelamnya kapal tersebut, hingga hari ke-5, total korban yang ditemukan baru 22 orang, yakni di antaranya 3 korban meninggal dunia dan 19 orang korban selamat. Sedangkan dugaan 184 korban lagi dinyatakan hilang masih dalam pencarian.  Hingga saat ini, pencarian korban belum membuahkan hasil. Gelar Ritual Penduduk Pulau Samosir, khususnya Keturunan Silau Raja pun turut menggelar doa (ritual) Pangelekan (permohonan) di Perairan Danau Toba dan juga di Tao (Pulau) Malau, Samosir Jumat (22/6/2018). Menurut silsilah batak Silau Raja adalah anak lelaki bungsu Guru Tatea Bulan dan Si Boru Baso Burning. Empat abang Silau Raja  adalah Raja Uji, Saribu Raja, Limbong Mulana dan Sagala Raja Silau Raja memiliki empat anak laki-laki yakni, Malau, Manik, Ambarita dan Gurning. Guru Tatea Bulan memiliki empat putri, salah seorang adalah Nantinjo yang dikisahkan memilih bunuh diri dengan menceburkan diri ke Danau Toba karena menolak dijodohkan pada lelaki yang tidak dia sukai. Keturunan Tatea Bulan, termasuk dari Silau Raja menyapa Nantinjo sebagai namboru atau bibi. "Kami marga Malau punya hubungan emosional kepada Namboru kami Nantinjo yang memiliki kekuatan di Danau Toba ini. Dengan kejadian ini, kami prihatin dan tentu berupaya dalam doa. Mudah-mudahan melalui acara doa (ritual) ini, Tuhan yang maha kuasa dan juga Namboru kami memberi kemudahan dalam pencarian korban, serta membantu orang-orang yang melakukan pencarian,"ujar Krimson Malau (Oppu Yandra). Kata Krimson, berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami marga Malau di Danau Toba, apabila mereka naik kapal jika berdoa kepada namboru Nantinjo dengan media sirih, maka cuaca bisa tenang. Disebutnya, saat ini keluarga korban banyak yang panik, sehingga mereka melakukan ritual itu. Ritual ini spontanitas mereka lakukan, sebagai kepedulian untuk turut memudahkan pencarian korban. Ritual itu dipimpin Oppu Martupa Malau dari Huta Salaon, Samosir. Dari dermaga (pelabuhan) Simanindo, mereka berangkat menuju Tao Malau menggunakan kapal. Mereka yang ada pada ritual itu adalah Marga Malau dan boru Malau sebagaimana turunan dari kelompok marga "Silau Raja" yang menyebut "Nantinjo" namborunya, atau bibi dari leluhurnya. Oppu Martupa mengenakan olos, tiba di Tao Malau memanjatkan doa-doa dengan cara kepercayaan Batak Purba. Sirih "napuran" beserta jeruk purut dijadikan media komunikasi terhadap Sang Pencipta, dan khususnya leluhur mereka yang dikenal dengan sebutan "Namboru Nantinjo". Ritual tersebut bertujuan "mangelek" atau berdoa kepada "Namboru Nantinjo" yang diyakini menjaga Danau itu. Dalam doanya, terlebih dahulu mereka memohon maaf atas keusilan manusia yang mengotori danau.  Setelah itu memanjatkan doa-doa permohonan di Tao Malau. Rombongan marga Malau pergi ke tengah danau membawa sebuah piring berisi beras, sirih, dan telur ayam kampung. Usai doa di danau, kemudian mereka kembali ke daratan. Dalam hajatan ini, fokus pada doa agar tim SAR, relawan, dan semua pihak yang melakukan pencarian korban juga dimudahkan dan diberikan keselamatan. (samosir)

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT