Hindari Perpecahan Golkar, Pencalonan Cawapres Harus Rapimnas

Senin 28 Mei 2018, 11:15 WIB

JAKARTA -  Potensi perpecahan dalam partai politik dalam proses pencalonan wakil presiden yang diusung untuk mendampingi Jokowi cukup besar. Untuk menghindari konflik dan friksi serta perpecahan, maka mekanisme internal partai harus digunakan untuk memutuskan siapa saja yang akan dicalonkan. “Saya mengamati, persaingan untuk mendapatkan posisi Wapres Jokowi sangat tinggi, sementara  sinyal dari Jokowi akan memilih siapa belum jelas. Karena itu secara internal partai harus melakukan proses yang transparan dan demokratis. Kalau di Golkar, saya usulkan digelar Rapat Pimpinan Nasional,” ujar anggota Dewan Kehormatan DPP Partai Golkar, Anwar Arifin ketika berbicara dalam diskusi  bertema “Koalisi Elite Vs Kader: Pencapresan dan Ancaman Perpecahan Parpol” di Gado-Gado Boplo, Jalan Geja Theresia, Menteng, Minggu (27/5/2018) petang. Anwar Arifin menegaskan, tidak sulit bagi Golkar untuk segera menggelar Rapimnas dan mendengarkan suara-suara DPD I dan II guna menjaring siapa saja yang layak dan pantas untuk menjadi Cawapres. Lebih lanjut Anwar Arifin menyatakan, tujuan Rapimnas adalah untuk menjaga soliditas partai. Karena belum ada sinyal yang jelas dari Jokowi, maka Rapimnas bisa putuskan 3-5 nama, baik figur muda maupun senior. “Kalau saat ini Ketua umum Airlangga digadang gadang sebagai Cawapres boleh saja, itu masih bersifat pribadi. Tapi dalam pencalonan wakil presiden kan bukan urusan pribadi. Ini urusan partai danmenyangkut masa depan partai.  Jadi prosesnya harus demokratis dan terbuka. Maka Rapimnas adalah yang terbaik, sehingga suara-suara yang berbeda bisa disatukan dan jika sudha diputuskan, semua harus patuh,” papar Anwar Arifin yang beberpa periode menjadi anggota DPR RI. Diskusi juga  menampilkan narasumber Direktur Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatullah, Ketua DPP PSI Tsamara Amany, Direktur LIMA, Ray Rangkuti, dan Direktur Eksekutif Lembaga Suirvei Indepeneden Nusantara (LSIN) Yassin Muhammad selaku pelaksana diskusi. Direktur Orkestra, Poempida Hidayatullah  setuju dengan Anwar Arifin agar Golkar melaksanakan proses dan mekanisme di internal secara demokratis. Karena itu forum yang transparan dan demokratsi adalah Rapimnas dengan agenda khusus membahas pencalonan wakil presiden. “Airlangga selaku Ketua Umum Golkar harus melakukan komunikasi dengan pengurus DPD I dan II dan kemudian membahas pencalonan. Jika calon ynag terpilih lewat Rapimnas, maka yang bersangkutan mendapat legitimasi partai. Mengenai jumlahnya berapa calon yang diusulkan, terserah Rapimnas yang memutuskan,” ujar Poempida. Sementara itu Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsmara Amany juga setuju partai harus melakukan proses demokrasi  di internal agar calon yang terpilih punya legitimasi kuat. “Kalo PSI karena tidak mencalonkan wapres dan mendukung Jokowi, maka mendukung fgur yang muncul melalui ajang voting. “Saya seuju jika partai pengusung Jokowi melakukan semacam proses dari bawah hingga tinggakt DPP pusat ini untuk mengurngi friksi dan juga perpecahan di dalam.” katanya. Ancaman Perpecahan Parpol Direktur Eksekutif Lembaga Suirvei Indepeneden Nusantara (LSIN) Yassin Muhammad dalam paparannya mengatakan, Deklarasi rekomendasi Capres, dukungan partai politik pada kontestasi Pilpres 2019 telah mengerucut pada nama petahana, Presiden Jokowi dan bukan Jokowi. Disebut non Jokowi karena partai politik yang belum secara resmi mendeklarasikan calon presiden belum memiliki nama tunggal untuk diusung sebagai calon presiden atau paket capres-cawapresnya. Dalam fatsun politik, tentu saja keputusan rekomendasi Parpol terhadap dukungan Capres melalui Rapimnas, Mukernas, Rakernas semestinya merupakan sebuah keputusan yang mengikat terhadap seluruh elemen Parpol meliput pengurus, kader atau bahkan hingga sampai di level simpatisan. Keputusan rekomendasi dukungan Capres adalah sah sebagai mekanisme parpol, konsekwensinya akan mengikat sikap politik dan/atau pilihan politik yang tunggal, atau solid, atau utuh kepada semua elemen Parpol. Karenanya, akan menjadi fenomena aneh jika ada dinamika "beda pilihan" antara keputusan parpol dengan pengurusnya, kadernya atau mungkin simpatisan. Perbedaan beda pilihan ini sekaligus menimbulkan dampak berupa perseteruan antara koalisi elit vs koalisi kader Parpol. Lantas, pertanyaan besarnya, apakah dukungan atau sikap resmi parpol saat ini terhadap Calon Presiden Jokowi atau yang bukan Presiden Jokowi adalah sikap final kader, simpatisan atau pemilih pada Pilpres 2019? Jika jawabannya tidak, maka ancaman perpecahan jelas nyata di tubuh Parpol. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah akan muncul, baik dalam skala terang-terangan atau di bawah tangan, adanya perpindahan dukungan (dalam bahasa yang lebih ekstrim bisa disebut sebagai “pengkhianatan”) antara keputusan partai dengan pergerakan kader di bawahnya? Jika perpindahan dukungan terjadi maka bisa dipastikan gaduh politik akibat rekomendasi Capres pada Pilpres 2019 kembali terulang sebagaimana 2014 terjadi pada Partai Golkar dan PPP. (win)


News Update