ADVERTISEMENT

Dagang Buah Sortiran di Pasar Induk Kramat Jati, Wati Rela Pisah dengan Suami

Jumat, 20 April 2018 14:52 WIB

Share
Dagang Buah Sortiran di Pasar Induk Kramat Jati, Wati Rela Pisah dengan Suami

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA –  Berawal dari pemikiran hidup di Jakarta mudah mendapatkan pekerjaan. Perempuan asli Solo ini berurbanisasi dari kampungnya ke Ibukota. Mba Wati, itulah sapaan para pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur untuk dirinya. Wanita yang berumur 50 tahunan ini memutuskan untuk menjadi penjual buah sortiran. "Aku biasa di panggil Wati. Udah panggil aja aku Wati. Sebenernya itu nama anak ku. Tapi ga apa-apa itu jadi nama panggilan aku," jelasnya pada poskotanews.com. Buah sortiran berarti buah-buahan yang dipilih dan cenderung kurang bagus. Bahkan ada juga buah yang setengah busuk. buahTeks : Buah sortiran yang dijual mbak Wati.(Cw3) Keranjang-keranjang penjual sortiran di letakan di tempat langganan pada los buah Pasar Induk Kramat Jati. Biasanya, penjual sortiran ini sudah memiliki langganan dan memang harus memiliki langganan. Sebab satu toko di los buah hanya dikuasai oleh satu penjual buah sortiran. Ketika pegawai toko sudah memasukkan buah yang kurang bagus ke keranjang atau tas jinjing. Barulah penjual buah sortiran ini kembali mengambil keranjangnya. Buah-buahan tersebut masih harus mereka sortir lagi sebab bila busuk tidak bisa di jual. "Kalo udah begini juga di pilihin lagi. Buahnya bisa apa aja tergantung di kasihnya dari dalem. Nanti buah yang masih bagus kita jual seikhlasnya. Yang sudah jelek atau BS kita buang. Kita ambil dari dalam bayar juga tapi seikhlasnya," ungkap Wati. Sebenarnya, Mba Wati memiliki suami dan dua orang anak. Namun suaminya tidak ikut dirinya ke Jakarta karena di kampungnya bekerja sebagai petani. Sedangkan anaknya sudah berkeluarga. Suami Mba Wati jarang-jarang datang ke Jakarta. Sekalinya datang suaminya hanya momong cucu karena anak dan cucunya biasa main ke kontrakan Mba Wati di Kampung Tengah, Jakarta Timur. "Suamiku tani di kampung. Kalo di sini momong cucu. Biasanya pas selepas panen suamiku ke sini (kontrakan)," lanjutnya. Mba Wati selalu berangkat setelah subuh dan pulang magrib. Dirinya mengaku pendapatannya tidak pernah menentu. Paling sedikit dirinya akan mengantongi Rp25ribu. Jika sedang dikit uangnya akan di hemat untuk ongkos balik ke Solo. Mba Wati mengaku minimal 2 bulan sekali harus pulang ke Solo. "Paling dikit Rp25ribu aku pegang. Aku sih orangnya bersyukur aja. Ga mau di bawa sedih, sebenernya banyak cerita sedihnya. Tapi aku ga mau ceritain. Yang penting intinya bersyukur," tutupnya. Bermodalkan bersyukur, Mba Wati selalu kuat menjalani cobaan hidupnya. Berapapun hasil uang yang diperoleh dirinya tidak pernah mengeluh. Cerita sedih yang tak pernah mau di ingat-ingat membuatnya tegar menjalani hidup menjadi penjual buah sortiran sejak 5 tahun belakangan.  (Cw3/tri) https://youtu.be/_g5HCfrlCj0

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT