ADVERTISEMENT

Murai Batu, Bagus Mana Hasil Tangkaran atau Tangkapan?

Selasa, 20 Maret 2018 05:11 WIB

Share
Murai Batu, Bagus Mana Hasil Tangkaran atau Tangkapan?

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA - Banyak kicau mania, terutama penggemar pemula yang bingung ketika mau membeli anakan murai batu, mau pilih hasil penangkaran atau tangkapan dari hutan? Setiap bertanya kepada pedagang selalu mendapat jawaban yang berbeda-beda karena mereka punya kepentingan mempromosikan dagangannya. Sebenarnya bagus yang mana sih? Biasanya, hobi membeli murai batu yang masih anak atau bahan karena pertimbangan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan dewasa gacor. Dalam artikel ini, kita hanya fokus membahas murai batu papan atas yang berasal dari Medan, Sumatera Utara dan keturunannya. Untuk anakan jantan yang berusia sekitar dua bulan harganya di atas Rp 2 juta. Apalagi kalau berasal dari penangkaran dengan indukam juara kontes, maka harganya bisa jauh lebih mahal lagi. Sedangkan murai dewasa yang sudah gacor harganya minimal dua kali lipat dibanding bahan atau bakalan. Budi Sulistyo, penangkar murai di Pademangan, Jakarta Utara, berpendapat antara bahan murai penangkaran dan penangkapan di alam liar punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. "Jadi, semuanya tergantung pada selera dan keuangan masing-masing. Tapi yang jelas memelihara anakan murai akan lebih cepat bunyi dibanding dewasa tangkapan hutan," ujar Budi, Senin (20/3). Sebab, untuk merawat kedua jenis anakan ini butuh penanganan awal yang agak berbeda. "Pertama, saya ingin menjelaskan dulu tentang masing-masing kondisi dan karakter burung tersebut," kata Budi yang menekuni ternak murai sejak tahun 2000-an. Anakan murai usia di bawah tiga bulan ditandai dengan warna bulu yang bercak-bercak atau biasa disebut trotol dan ekor relatif pendek. "Seiring bertambahnya usia, warna bulu secara bertahap berubah menjadi hitam pekat, cokelat pada bagian dada, dan ada delapan helai bulu ekor berwarna putih, menopang bulu ekor utama berwarna hitam. Trotolan hasil penangkaran, biasanya ditandai adanya ring atau gelang di kaki. "Karakter burungnya juga lebih jinak dan sudah pasti doyan makan vur yang kelihatan dari kotorannya padat dan berwarna sama dengan vur yang dimakannya," papar Budi, pemilik ring Super yang sudah memproduksi ratusan ekor murai. Sedangkan anakan hasil tangkapan hutan dapat dipastikan kaki tidak pakai ring, karakter masih giras dan tidak tenang saat didekati orang, belum doyan makan vur, jadi hanya makan kroto, jangkrik, ulat hongkong atau serangga lainnya. Yadi, pedagang burung di Pasar Burung Pramuka, Jaktim, menambahkan kedua jenis trotolan itu punya kelebihan masing-masing. "Trotolan hutan punya bekal kicauan asli alam liar yang dipelajari dari indukan dan lingkungan sekitar. Suara alam liar sangat enak didengar dan kesannya kita berada di hutan. Burung ini kalau sudah dewasa punya semangat tempur yang tinggi," ujar Yadi yang dikenal sebagai spesialis pedagang murai medan yakni spesies murai yang paling merdu dan berekor panjang. "Tapi kelemahannya, burung butuh waktu untuk adaptasi lingkungan sehingga bunyinya masih jarang dan pelan. Kita juga harus mengajarinya supaya mau makan vur sekaligus berusaha menjinakkan," papar Yadi. Adapun trotolan dari peternakan karakternya jinak dan doyan vur, namun tetap harus diberi pakan hewani. "Burung ini lebih mudah dimaster untuk meniru suara burung lain. Namun secara umum, trotolan ternak dikelompokkan dalam dua kelas yakni dari turunan jawara dan biasa," ungkap Yadi. Kalau dari turunan induk biasa, Yadi menjualnya antara Rp 2,2 juta dan Rp 2,5 juta. Tapi kalau induknya dari juara kontes harganya di atas Rp 5 juta. "Tapi sering juga trah jawara oleh pemiliknya dikelompokkan dalam trah biasa supaya cepat laku. Sebab kalau pasang harga terlalu tinggi, tidak diminati pembeli," sambungnya. Jadi, untuk memilih hasil ternak atau alam liar, kata Yadi, tergantung pada selera dan kemampuan kantong. "Dari segi harga, trotolan ternak cenderung lebih mahal, namun trotolan hutan berpotensi jadi pengicau hebat. Hanya saja pada sejumlah lomba kicau burung, banyak penyelenggara yang mewajibkan burung peserta kontes harus pakai ring," jelasnya. Trotolan hutan harga sekitar Rp 2 juta, sedangkan dewasa tangkapan hutan harga mulai dari Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, tergantung panjang ekor. Tapi faktor utama untuk mencetak burung jawara adalah perawatan yang baik, mulai dari pemberian makanan, mandi-jemur, kerodong, dan pemasteran. Burung yang dirawat dengan baik dan benar tentu akan menjadi bagus. (joko/b)

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT