Operator Bongkar Muat Baru di JICT Gak Bisa Kerja, Importir Rugi Puluhan Miliar

JAKARTA (Pos Kota) - Pemakai Jasa Pelabuhan menderita kerugian puluhan miliar akibat pelayanan di Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) dan NPCT-1 sejak awal bulan amburadul. Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) meminta tanggung jawab manajemen JICT atas peti kemas impor mereka yang terbengkalai tidak bisa langsung delivery atau tidak bisa langsung dikeluarkan dari pelabuhan sejak awal bulan ini sampai dengan sekarang. Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, Subandi mengatakan pelambatan produktivitas layanan JICT  membuat pihak consignee/impotir mengalami kerugian yang tidak sedikit karena harus mengeluarkan biaya  storage  yang terkena penalti dan biaya penggunaan keterlambatan peti kemas atau demurrage. Subandi mengatakan biaya tambahan untuk storage jika sudah melewati batas waktu penumpukan dikenakan Rp300.000 per boks/hari untuk ukuran peti kemas 20 feet, dan untuk ukuran 40 feet dikenakan 600 ribu per boks/hari. Sedangkan biaya demurrage, mencapai rata-rata 60 dollar AS per boks/ hari untuk peti kemas 20 feet dan US 100 dollar AS per boks/hari untuk ukuran 40 feet. "Sekarang ini ada ribuan kontener yang mengalami kelambatan proses delivery sejak awal bulan ini. Bisa dihitung kalau ribuan kontainer dikalikan biaya di atas nilai uang yang harus dikeluarkan pemilik barang milliaran rupiah," tutur Subandi, Rabu (10/1/2018). Hingga hari Rabu pelambatan layanan di JICT masih terjadi untuk kontainer yang hendak periksa melalui alat hi-co scan karena tidak bisa ditarik disebabkan volume penarikan padat. Lambannya layanan tersebut akibat sekitar 400 orang tenaga operator bongkar muat yang lama diganti dan diputus kontrak. Sebagai penggantinya ratusan orang petugas bongkar muat yang baru  SDM/operator banyak yang tidak paham menggunakan alat di lapangan. "Lagi-lagi importir menerima imbas buruknya, banyak kontainer enggak bisa diproses lanjut gara-gara keadaan di dalam terminal JICT ada ratusan  petugas baru tidak paham kerja di lapangan dan lambannya proses lift on/off oleh operator," ujar Subandi. (Dwi/Tri)