ADVERTISEMENT

KPI Desak Pemerintah Moratorium Pelaut ke Kapal Taiwan

Rabu, 19 Februari 2014 13:08 WIB

Share
KPI Desak Pemerintah Moratorium Pelaut ke Kapal Taiwan

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA (Pos Kota) - Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) penempatan pelaut Indonesia ke kapal-kapal perikanan milik  pengusaha Taiwan. Presiden KPI Hanafi Rustandi beralasan semakin banyak kasus  penelantaran ABK Indonesia oleh kapal-kapal perikanan Taiwan, tanpa ada penyelesaian yang tuntas, terutama menyangkut hak upah para ABK yang tidak dibayarkan. Selain sering menyengsarakan pelaut,  lanjutnya,  kapal-kapal Taiwan itu juga merusak citra Indonesia karena sering berganti nama dan menggunakan bendera Indonesia di tengah laut tanpa melalui prosedur yang legal. "Pemerintah harus segera melakukan moratorium untuk menghentikan kasus-kasus perbudakan pelaut Indonesia di kapal-kapal perikanan Taiwan," tegas Hanafi menanggapi pemulangan 74 pelaut perikanan yang bekerja di kapal-kapal perikanan Taiwan, Rabu. Kedatangan pelaut dari Cape Town di Bandara Halim Kusuma dengan pesawat carter Selasa malam (18/2) tersebut  disambut oleh Sekretaris Pimpinan Pusat KPI Sonny Pattiselanno, staf Protokol dan Konsuler KBRI di Pretroria-Afsel, Risa WS Wardhani, Konsul RI di Cape Town,  Adhi Wibowo, serta Direktur Mediasi dan Advokasi Badan Nasional Penempatan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Teguh Hendro Cahyono. Ke-74 pelaut itu bekerja di 7 kapal longline Taiwan yang beroperasi di fishing ground internasional, termasuk di fishing ground Afrika Selatan. Para pelaut itu  sebagian besar berasal dari wilayah pantai utara Jawa Barat/Jawa Tengah. "Mereka direkrut oleh 12 agen perekrutan di Indonesia, umumnya di Jakarta dan diterbangkan ke beberapa pelabuhan yang disinggahi kapal di luar negeri. Bahkan ada yang melalui beberapa pelabuhan transit sebelum ditempatkan di kapal atau dipindah-pindahkan ke kapal lain di laut," jelas Hanafi. Mereka bekerja di 7 kapal perikanan dengan kontrak kerja rata-rata 3 tahun, tapi ada yang sudah bekerja sampai 5 dan 7 tahun. Gajinya antara 170 – 350 dolar AS  per bulan, tergantung pekerjaannya. Namun mereka rata-rata hanya menerima gaji selama 4 bulan pertama, selebihnya sampai saat dipulangkan ke Tanah Air, belum dibayar. "Yang sangat menyedihkan, selama beberapa bulan mereka ditelantarkan setelah kapalnya ditangkap dan ditahan di Cape Town karena melakukan illegal fishing. Sehingga akhirnya mereka ditahan oleh Imigrasi setempat sejak 1 Desember 2013," kata  Sonny Pattiselanno yang juga sebagai Wakil Ketua ITF (International Transport workers Federation) Asia Pafisik Seksi Perikanan. TINDAK TEGAS Hanafi berharap pemerintah menindak tegas, karena  sudah terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan pemilik/operator kapal ikan Taiwan terhadap pelaut Indonesia. Mulai kondisi kerja yang tidak layak, perlakuan tidak manusiawi, human trafficking, sampai melecehkan negara dan bangsa Indonesia karena menggunakan bendera tanpa melalui prosedur yang ditentukan. "Pemerintah RI harus bertindak tegas dengan melakukan moratorium penempatan pelaut Indonesia ke kapal-kapal ikan Taiwan. Moratorium baru dibuka kembali setelah pengusaha Taiwan sanggup memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap pelaut Indonesia sesuai standar internasional," tegasnya. Hanafi juga mendesak pemerintah RI untuk melakukan protes keras terhadap Taiwan atas penggunaan bendera Indonesia oleh kapal-kapal perikanan Taiwan secara illegal. (tri/sir)

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT