ADVERTISEMENT

Bencana, Pemilu dan Kemiskinan

Senin, 10 Februari 2014 10:11 WIB

Share
Bencana, Pemilu dan Kemiskinan

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

DI AWAL tahun 2014 menyongsong Pesta Demokrasi bulan April nanti, musibah demi musibah dan bencana alam melanda kehidupan rakyat Indonesia. Musibah banjir merupakan kisah klasik tahunan, tanah longsor, musibah kapal tenggelam,  kecelakaan bus, dan gunung meletus. Sungguh, rakyat kita sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah. Anggaran yang seharusnya untuk pembangunan, jangan sungkan dipergunakan untuk membantu korban bencana, meski memang pos anggaran untuk menanggulangi bencana, tapi jumlahnya tak seberapa dengan kerugian yang diderita rakyat dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya. Belum lagi berbagai sarana, fasilitas bahkan lahan pertanian mengalami rusak parah. Nasib orang kecil seperti petani, lagi-lagi menjadi korban paling parah. Rumah rusak dihantam bencana, hewan peliharaan mati, lahan pertanian rusak, belum lagi harus membayar kredit (KUK) untuk kebutuhan saprodi (sarana produksi) pertaniannya, sekolah anak-anaknya. Kelangsungan kehidupan sehari-hari, tak jelas. Kalau tak ada uluran tangan dari pemerintah, dan masyarakat yang peduli, nisacaya hidup mereka seperti anak sebatangkara, tiada yang peduli. Apalagi, sebentar lagi kita menggelar 'Pesta Demokrasi'. Semua caleg maupun bakal capres mengumbar janji-janji kampanye akan memperbaiki kehidupan bangsa ini, di antaranya mengangkat kehidupan rakyat miskin, memajukan bangsa Indonesia. Dan itu mereka umbar setiap lima tahun sekali, termasuk di setiap pemilukada bupati, walikota dan gubernur. Tapi nyata, dari tahun ke tahun, angka kemiskinan belum juga turun dan 'nyata' dirasakan rakyat. Pemerintah saat menyampaikan RUU tentang APBN 2014 dan Nota Keuangan di DPR pada Agustus 2013 mengatakan angka kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 11,37 persen atau 28,07 juta orang. Angka tersebut turun sekitar 5,29 persen dibandingkan pada 2004.Tingkat kemiskinan berhasil diturunkan dari 37,2 juta (16,66 persen) orang pada tahun 2004, menjadi 28,07 juta (11,37 persen) orang pada Maret 2013. Menko Kesra mengakui target menurunkan angka kemiskinan menjadi di bawah 10 persen tampaknya sulit tercapai, masih susah untuk menembusnya. Bahkan setahun terakhir ini angka kemiskinan di Indonesia bertambah 480.000 orang. Bahkan Mensos mengungkapkan, pemerintah gagal mencapai target penurunan angka kemiskinan nasional sebesar 8 persen. Program pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab 19 Kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir jumlah penduduk miskin yang tercatat hingga September 2013 sebanyak 28,55 juta orang atau mengalami peningkatan 480.000 orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang mencapai 28,07 juta orang. Kenaikan jumlah penduduk miskin itu akibat inflasi tinggi hingga 5,02 persen sebagai buntut kenaikan harga BBM dan beras ikut menyumbang kenaikan jumlah orang miskin. Pengamat menyoroti semakin melebarnya kesenjangan antarpenduduk miskin, dan semakin rendahnya daya beli masyarakat miskin. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sampai dengan batas pengeluaran garis kemiskinan yang hanya sebesar Rp 259.520 per bulan. Kondisi kemiskinan di pedesaan semakin parah. Ketidakseimbangan antara kenaikan upah yang diterima dan kenaikan harga kebutuhan dasar yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia tak berubah banyak dari waktu-ke waktu. Kepada elit politik termasuk parpolnya, jangan jadikan kemiskinan sebagai komoditi politik di setiap pesta demokrasi . Buatlah pendidikan politik dengan karya nyata, dan dapat dirasakan rakyat miskin. Jangan sekali-kali melakukan proses pembodohan kepada rakyat. Kalau tidak pernah mengunjungi rakyat konstituennya, jangan seenaknya berkata sebagai wakil rakyat, apalagi mengatasnamakan rakyat. Bagaimana rakyat miskin bisa secara sehat memilih pimpinannya kalau bukan karena iming-iming uang, alias money politics. Pameo lawas mengajarkan kita, membantu orang miskin jangan diberi ikan, tapi pancing. Contoh nyata, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digulirkan pemerintahan dua periode terakhir ini, selalu berakhir tak jelas, bak hilang ditelan malam. Memang rakyat menerima BLT, tapi kemanfaatannya hanya seketika, sesaat dan sejenak. Penerimaan BLT tiga bulan sekali, nyaris tak ada fungsi kailnya sama sekali. Seorang Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota akan tersenyum saat turun dari jabatannya, berhasil mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Bukan semata dengan angka-angka meningkatnya ekspor, tingginya investasi, atau bangga dengan banyaknya jumlah jamaah haji yang tiap tahun terus membludak membuat panjangnya daftar tunggu calon jamaah. Apalah artinya semua itu, bila nyatanya rakyat miskin masih banyak. Apa sih artinya angka-angka 'keberhasilan' itu bagi rakyat miskin Indonesia? Banyaknya rakyat miskin merupakan 'cermin'buruk bagi pemimpin. Cermin masih bercokolnya ketidakadilan dan kelaliman, karena telah merenggut kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Hayo, jadilah anggota legislatif dan presiden yang bermartabat, tidak mau mencuri harta negara yang notabene milik rakyat, malu berpenampilan necis di tengah rakyatnya yang masih miskin. Malu menggelar pesta-pesta bergelimang bersama kaum sosialita sebelum rakyatnya makmur. Kita cukup bangga pemerintah meluncurkan berbagai program diluncurkan untuk meningkatkan taraf tingkat kehidupan mereka. Tapi memang selalu tidak optimal, karena masih banyak pejabat kita yang bermental 'tikus', tega menggerogoti haknya rakyat miskin.

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT