ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
PRODUKSI kedelai diprediksi bakal merosot, setidaknya untuk 4 bulan ke depan. Ini terkait dengan datangnya musim penghujan yang tidak memungkinkan petani kita menanam kedelai. Kita tak berharap krisis kedelai bakal berulang yang membuat harga melonjak dan perajin tahu dan tempe mogok produksi. Harapan ini seiring dengan komitmen pemerintah yang menyebutkan tahun 2014 Indonesia akan swasembada kedelai. Boleh jadi komitmen ini sejalan dengan upaya yang sedang dilakukan agar stok kedelai tahun depan terjaga 2,5 juta ton, angka yang mendekati kebutuhan riil kedelai nasional sebesar 2,6 juta ton per tahun. Diyakini, stok sebesar itu dapat terealisir karena beberapa langkah telah diambil pemerintah, di antaranya membebaskan bea masuk impor kedelai yang sebelumnya 5 persen menjadi 0 persen. Artinya importir diberi kemudahan dan kebebasan mendatangkan kedelai dari negara lain. Kebijakan yang digulirkan September lalu itu sempat menuai kritik karena dikhawatirkan akan menekan petani lokal di tengah upaya pemerintah menggenjot produksi kedelai untuk menuju swasembada. Menjadi pertanyaan apakah stok 2,5 juta di tahun depan itu merupakan hasil produk dalam negeri atau pasokan lokal dan impor. Kita berasumsi stok itu tercapai berkat peningkatan produksi kedelai dalam negeri melalui perluasan lahan pertanian kedelai menjadi 1 juta hektar dan rekayasa bibit unggul. Varietas bibit unggul sebenarnya banyak dihasilkan oleh peneliti kita.Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) seperti diberitakan harian ini (Selasa, 3/12) misalnya telah menghasilkan varietas kedelai bibit unggul (Gamasugen I dan Gamasugen 2) yang mampu menghasilkan produksi 2,6 ton /hektar dengan musim tanam 66 hari (7 hari lebih cepat dari bibit umumnya). Temuan ini menjadi salah satu modal untuk diadopsi atau dikembangkan lagi dalam upaya peningkatan produksi kedelai. Ini menjadi penting mengingat produksi rata – rata lahan kedelai lokal saat ini hanya 1,5 ton/hektar. Ditengarai, salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai lokal karena tiadanya ketersedian subsidi pupuk dan pemberian benih varietas unggul kepada petani. Kalau lahan diperluas menjadi 1 juta hektar dan produksi kedelai lokal ditingkatkan menjadi minimal 2,5 ton/hektar, maka kebutuhan nasional sudah tercukupi alias tercapai swasembada, malah berperluang ekspor. Lain halnya jika tidak ada political will untuk mengakhiri kebijakan impor kedelai. Pada era 1984 hingga 1993 kita telah terbukti mampu swasembada pangan mulai dari beras, daging, bawang, cabai dan kedelai. Bahkan, keberhasilan produk pangan beberapa negara tetangga saat ini, hasil belajar dari manajemen pertanian Indonesia pada masa lalu. Logika kita, ketimbang 90 juta dolar AS (sekitar Rp10,5 miliar) dihabiskan untuk mengimpor 150 ribu ton kedelai (periode Oktober – Desember ini), lebih baik dialokasikan menyubsidi petani lokal. Disinilah dituntut komitmen pemerintah melindungi petani, jika tidak, swasembada sebatas harapan. (*)
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT