ADVERTISEMENT
Senin, 28 Oktober 2013 17:47 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
JAKARTA (Pos Kota) - Kalangan intelektual terutama akademisi dituding menjadi agen Barat di Indonesia. Pasalnya mahasiswa dan kalangan kampus lainnya, saat ini masih tetap hanya melahap buku-buku dari Barat. “Mereka masih menjadi komsumen ilmu pengetahuan, dan belum menjadi produsen atau pembuat ilmu pengetahuan. Lihat saja semua pemikiran yang masuk tanpa filter, tidak kreatif dan bahkan buku-buku yang masuk itu 80% dari pemikiran barat,” kata mantan anggota DPR yang juga perancang UU Pendidikan Tinggi, Prof Anwar Arifin, dalam diskusi "Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia," di MPR, Senin (28/10). Guru besar FISIP Unhas ini menyatakan, intelektual perguruan tinggi hanya tergantung dari teks dan buku-buku barat. Penerbitan buku di Indonesia belum mencapai 18.000 judul pertahun (7,11%) dari jumlah penduduk. Beda dengan Korea Selatan yang mencapai 37.000 judul pertahun, India 60.000 pertahun. Yang lebih menyedihkan, sambungnya, saat ini tidak ada intelektual Indonesia yang kreatif seperti Bung Karno (BK). " Dia menggali bagaimana Marhaenisme. Secara sinkretisme BK juga membangun dari berbagai ide kreatifnya,” tuturnya. Selain itu, lanjut Anwar, BK juga pula menggali dasar dan pilar negara yang tidak sama dengan negara lain. Kita harus seperti Bung Karno, mendapatkan pengetahuan Barat tapi juga menggali pemikiran-pemikiran yang ada di negeri ini. “Kalau ingin cari acuan intelektual yang memegang nilai-nilai bangsa, ya Bung Karno itu. Sejauh ini masih jarang yang seperti itu, saat ini semua serba Barat,” ujarnya. Oleh karena itu, kata Anwar, agar Indonesia bisa maju, maka kalangan intelektualnya harus berhenti menjadi konsumen ilmu pengetahuan. “Istilahnya, kita ini hanya menjadi broker, atau menjadi konsumen teknologi, karena itu sebaiknya jangan hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan. Intinya, harus menghasilkan ilmu pengetahuan," terangnya. Ketua F-Partai Gerindra, Martin Hutabarat dukungan pemerintah terhadap penelitian-penelitian yang dihasilkan anak muda jarang bisa diadopsi. Sehingga hanya menjadi milik dunia pendidikan saja. Menurut Martin, kualitas pendidikan tidak sebanding dengan kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Padahal tujuan membangun negeri ini, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. "Usaha membangun kualitas pendidikan yang lebih baik tidak dibarengi dengan kesejahteraan ekonomi," paparnya. Martin menilai saat ini orang lebih berorientasi mengejar gelar kesarjanaan saja. Oleh karena itu, kita membutuhkan seorang Mendikbud yang kuat gagasan, seperti Daud Yusuf, dia berani melawan paradigma yang kuat saat itu," katanya. (winoto)
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT